Friday, April 3, 2020

Bagian Pertama (Pengenalan)

 
Entah kenapa. Malam ini aku terjaga. Di ujung pagi, tatkala manusia lain tengah lelap dengan bunga tidurnya. Nampak pula wajah cerah istriku yang tidur di sisi lain kasur tempat aku terjaga. Raut teduh bak sinar bulan itu tak pernah sedikitpun meredup. Sejak dua puluh tahun lalu, hingga detik ini. Masih sama. Kala aku pertama melihatnya, kemudian jatuh cinta, dan berakhir pada penerimaan ayahnya atasku. Yang masih bukan siapa-siapa. Mungkin, teduhnya raut itu karena ia mampu menjaga wudhu.

Perlahan, kusingkap selimut yang membalut cinta kami agar tak membuat wanita yang dikirim Tuhan itu terbangun. Satu per satu, kaki kuinjakkan ke lantai rumah yang tersusun atas potongan batu granit yang ditata rapi oleh ayah kala itu. Dengan kepala yang masih tertunduk, kuletakkan pula kedua tangan di atas lutut sembari menghembuskan nafas panjang untuk sedikit lebih rileks. "Ada apa ini Tuhan?" Pikirku kala itu. Lama sudah rasanya tak terjaga seperti ini. Beberapa kali kuelus rambut bergelombangku yang agak kaku dan memutih dengan satu tangan. Mencoba menambah rileksnya fikiran yang terjaga di ujung pagi. Kutengok jam di dinding, jarum jam menunjuk ke angka dua dan dua belas. Tepat tiga jam sejak aku memutuskan untuk tidur.

Akhirnya, kulangkahkan kaki menuju kursi yang menghadap meja meja kerja yang di sudut kamar. Kurebahkan tubuh tua ku pada kursi antik buatan ayah yang sudah lama sekali ada di rumah ini.

Masih dengan rasa penasaran, kenapa aku terbangun sedini ini. Kutatap langit-langit, kembali kutundukkan kepala, kutatap lagi langit-langit, kutundukkan lagi, sembari beberapa kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Rasanya, tak membaik. Masih saja sama, ada yang tidak beres.

Monday, February 3, 2020

Sang Pengganti (Penutup)

 
Ku kira, cerita ini akan panjang. Ber- episode-episode. Nyatanya, harus kututup di sini juga. Pada tempat yang sungguh kuingin datangi dengan seorang yang spesial. Tempat paling tepat menyaksikan mentari berucap salam di ujung hari. Tempat bersejarah, dibalut cerita legenda setempat. Boko. Tumpukan batu saksi pemerintahan di wilayah Yogyakarta yang terletak di perbatasan Gunungkidul dan Sleman itu menjadi saksi. Tempat kita berucap salam sampai jumpa, tanpa tahu takdir Tuhan jumpakan lagi atau kau berlalu tanpa sempat menjadi milikku.

Masih teramat jelas lekuk indah siluet wajahmu kala itu. Kau yang sesekali bergaya di balik lensa kamera ku, membelakangi surya yang tengah berpamit. Mata indah yang bersinar kala membiaskan cahaya surya itu, jelas penuh akan semangat menyambut petualangan baru.
"Jadi, kapan pergi ke ibukota?" Tanyaku sembari berpura baik-baik saja.
"Bulan depan. Empat belas Maret dua ribu dua puluh." Dengan tegasnya kau menjawab.
"Semuanya sudah siap bukan?" Sapaku menyelidiki setiap jengkal apa yang telah kau lakukan demi menyabut tugas barumu. Di tempat baru, jauh dari aku yang masih menunggui kota istimewa ini.
"Sudah." Singkat jawabmu. 
"Syukurlah." Langsung saja kututup tanyaku. Kau tak nampak tertarik sama sekali atas apa yang kubahas.

Sungguh, aku tak pernah berpikir ada tempat istimewa di hatimu untukku. Aku hanya laki-laki sederhana yang mencintai mu tanpa alasan. Tanpa mampu mengungkapkan dengan benar atas rasaku padamu.

Kau yang sejak dua belas bulan lalu datang ke Jogja, meninggalkan kota kembang demi berpetualang di kota istimewa ini, akhirnya pergi juga. Sedang aku, yang dulu berkantor megah di Jakarta, harus menyendiri di Jogja karena mutasi ke cabang perusahaan.

"Terimakasih...." Ucapku membuka kembali percakapan sederhana, kala mentari semakin merendah.

"Kau yang dulu kukenal tanpa sengaja di sudut lapangan Monas. Dengan secangkir kopi hangat, yang semakin menjaga dari dinginnya malam kala itu."


"Kamu, yang dulu sempat berbagi setiap detil cerita di taman Lembang kota Bandung."

"Dan semuanya. Termasuk menyadarkan aku atas apa yang seharusnya kulakukan. Terimakasih."

"Jaga dirimu baik-baik, Rif! Aku yakin, kita akan jumpa lagi." Katamu sembari menatap mataku yang tanpa sadar mulai berair.

"Tentu. Kunantikan saat itu, Tun."

"Dan ini, bawalah. Barangkali, kau butuh saat dingin di kereta." Pesanku sembari mengeluarkan selembar kain dari tas pinggang ku.

"Hanya kain tenun ini yang bisa kuberikan di ujung jumpa kita. Terimakasih, sekali lagi, Tun."

"Sini, kugunakan dulu kain nya untuk mengusap peluh mu. Agar aku yakin kain ini benar darimu. Hahaha," ucapmu sembari memecah suasana yang kian haru.

"Hahahah, jaga baik-baik. Barangkali, ini jadi pengikatmu. Dari aku yang mencintaimu tanpa alasan."

"Hahahah, terimakasih. Akan kusimpan."

"Simpanlah. Jika kita ditakdirkan bersama, ini akan jadi saksi dari jeda jarak di antara kita. Jika tidak, kutitipkan ini untuk anak laki-laki mu kelak. Ucapkan padanya, untuk memberikan kain ini pada perempuan terbaik pilihannya. Dan katakan bahwa ini pemberian dari sahabat ibu."

"Hahah, kau visioner sekali. Tapi, itu lebih baik. Jelas, jika kelak kupakai terlalu sering, akan menjadi pertanyaan dari teman hidupku. Terimakasih."

Akhirnya, perjumpaan itu berakhir. Dengan pesan sederhana, dari aku yang mencintaimu tanpa alasan. Senja pun kian temaram. Perlahan, lalu gelap. Aku dan kamu kembali pulang. Seperti biasa, kuhentikan kendaraan ku di depan gerbang kostmu. Dan kau masuk. Masih dengan senyum dan pamit yang selalu memperbaiki moodku. Sampai jumpa, terimakasih.

Thursday, December 12, 2019

Halu

 
Pagi ini, 12 Desember 2019
Aku halu...
Setiap ku ajak menikmati aroma alam,
Kau menolak

Ku lihat, kau justru pergi ke tempat yang lain
Entahlah, rasaku terus bergejolak
Pagi ini, rasaku kembali tak karuan
Berpikir, menerka, halu, kau sudah ada yang punya

Jelas membekas katamu kala itu,
Datang siang ini ke rumah
Sial. Aku terlalu sibuk kala itu
Demi memuliakan mu!
Kulewatkan siang itu berlalu

Kini aku tinggal menerka,
Sudahkah ada? Kenapa kau tolak ajakanku?
Dan kenapa masih saja kau kirim sandi-sandi rahasia itu?
Logika ku perlahan menghilang
Beriring semakin kuatnya rinduku

Ah sial!
Haruskah sesak itu kurasa lagi?
Saat tahu kau dengan yang lain?
Rasanya, aku sebal dengan diriku sendiri
Yang lidahnya membeku saat didekatmu!

Andai bisa,
Kuingin tuhan berikan waktu untukku
Setidaknya setahun saja
Agar aku mampu muliakanmu,

Ah iya, halu
Tak cuma pagi ini saja,
Tapi, semua itu kurasa, kupikirkan
Setiap hari, setiap malam


Kata-kata ini kurangkai saat aku tak (yakin) bisa merangkulmu (@dsuperboy)

Friday, September 20, 2019

Senja Yang Temaram

 
Kepadamu wahai senja yang sirna jingganya
Sungguh, benar telah kutitipkan seutuhnya
Rasa gelisah yang telah lama tak kurasa
Hanya kepadamu, sekalipun kau tak merasa

Sunday, August 25, 2019

Kalau Memang Tidak Bisa, Jangan Dipaksakan

 

Sore ini Jogja cukup syahdu. Matahari bersinar di akhir pekan, terhalang mendung tipis yang tak menandakan hujan. Rasanya, nikmat untuk bersantai. Sayang aku terlalu mendramatisir banyak hal di dunia ini. Hingga, tiada kabarmu saja mengganggu jalannya hariku. Kalau saja tidak ada sikapmu yang kuanggap teka teki itu, rasanya hidupku sudah hambar.
Tapi, teka teki mu sebenarnya tak membawaku pada hal yang lebih baik juga. Ia justru memenuhi otak dan merusak mood di setiap waktu. Sayangnya lagi, tidak ada orang lain yang menarik dalam hidupku. Sungguh menyedihkan.

"Apa kabar hari ini?" Tanyamu.
"Baik. Bagaimana harimu?" Jawabku.

Dan demikian saja rasanya aku seperti terbang tinggi yang kemudian jatuh ke jurang kekecewaan. Ku rasa, sudah saatnya aku berhenti memprioritaskan kamu di hidupku. Sudah saatnya berhenti memenuhi otakku dengan hal hal yang tidak menyehatkan itu. Sayangnya, aku seketika menjadi balita yang tengah belajar berjalan. Mencoba menguatkan tekad untuk melangkah maju, yang selalu takut terjatuh dan justru kembali mundur.

Padahal, jika jatuh, aku bisa bangkit lagi bukan? Jika akhirnya aku hidup tanpa kamu lagi, tidak ada yang berubah bukan? Semua akan kembali seperti sebelum cerita ini dimulai. Aku akan baik-baik saja sebagaimana pernah melalui hidup di waktu yang lalu. Itu saja.

Ku rasa, kalimat seorang sahabat itu pantas menjadi penguat hidupku. Adalah "Berhenti memperjuangkan yang tidak pasti." Kurang lebih demikian, dan yah. Oke. Detik ini juga aku memulainya. Semua akan kembali seperti sedia kala. Aku tidak punya alasan hidup di titik ini, sendirian. Jika pada akhirnya, dengan tiba-tiba Tuhan kabarkan hal yang aku harapkan sebelumnya, itu adalah hadiah. Sebaliknya, jika memang kita harus menjalani hidup masing-masing, itu tak apa. Belum lama ini juga aku mengalaminya bukan? Dan, memang sedikit iri. Tapi itulah hidup. Itulah tumbuh. Kau butuh kaki yang kuat untuk berlari. Dan kau butuh tulang rusuk yang tangguh untuk menjaga organ vital titipan Tuhan. Tidak ada artinya suatu kaki yang kau idamkan tapi tak pernah mampu membawamu menuju keceriaan. Terimakasih. Sudah menjadi pengganggu dalam tidurku.

Monday, July 8, 2019

May, it's not the right time

 

I still don't know what do you feel
From a few years ago, till now
I just understand that you are so unic
You're so different

I just wanna you to see
In this last few month, i can't stop thinking about you
I feel something different, in the deepest of my heart
I started afraid from loosing you
At the time you look so different than usual,
That feel comes stronger
I'm afraid can't tell you what i feel, and really loosing you
Give me a time to stated what i feel directly,
So everything can be clear

Thanks for comes to me at the  time i really down
Thanks for being my new power at the time i tired
Thanks for being one of my reason so i did that theses
Sure, i'm falling in love with you now.

Thursday, April 11, 2019

Sang Pengganti (Sebuah Kegagalan 3)

 

Ini hari ketiga Al di Bandung, Kota Kembang. Dan masih berkutat dengan bos nya yang belum deal juga soal pekerjaan yang harus dilakukan. Terombang-ambing tak jelas. Setiap melihat ke arah bos nya pun, nampak kosong. Dengan rambut acak-acakan dan kacamata yang sedikit tergantung dari pangkal hidung. Dalam benak Al, mungkin orang jenius penampilannya selalu acak-acakan seperti itu.

"Kriiing....." hanphone Al berdering. Rupanya Atun. Gadis dengan rona merah di pipi saat ia tertawa yang menelpon. Sontak Al mengangkat ponselnya meski di depan si bos.
"Assalamualaikum,"
"Waalikumsalam, Al. Lagi sibuk gak? Ngopi yuk!"
"Aku tanya atasan aku dulu ya. Nanti tak kabarin."
"Oke, ditunggu kabarnya."
"Wassalamu'alaikum."
"Waalikumsalam, Al."

Karena belum deal juga, akhirnya si bos membiarkan Al, si anak baru untuk pergi. Katanya, kalau mulai bekerja akan dihubungi. Al terhitung baru di kantornya. Ia baru bergabung enam bulan lalu. Sebulan setelah menyelesaikan kuliahnya yang molor, langsung nyemplung di kantor nya.

"Jadi, ketemu di mana, Tun?"
"Aku share ya lokasinya. Kita ketemu di situ."
"Oke."

Cafe Toraja. Meski menggunakan nama Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, cafe tempat mereka bertemu tetap menggunakan desain moderen. Terlihat di sudut ke sudut meja-meja besi dengan atasan kayu yang nampak seratnya masih mengkilap, tanda sama sekali belum ada pengunjung yang datang setelah dibersihkan oleh waitress. Tembok-tembok yang menyajikan bata merah bertuliskan kata-kata sederhana dan artistik pun mengelilingi meja kursi itu. Nampak pula sebuah ruangan kecil tiga kali lima meter dengan pintu kaca yang didesain untuk meeting di salah satu sudut ruangan utama. Layar proyektor dan LCD nampak jelas dari tempat Al menunggu.

"Hai."
"Oh, hai."
"Sudah lama nunggu?"
"Yah lumayan. Sama aja sih. Di hotel juga nganggur. Bisa-bisanya klien belum kasih kepastian gini. Biasanya udah pas sebelum berangkat."
"Haha, ceritain diri kamu lagi donk. Biar aku bisa kenal kamu lebih, Al."
"Hem?"
"Iya. Tentang kamu. Hidup kamu. Cita-cita. Sebelum kamu kerja di sini. Keluarga. Atau apa sajalah."
"Kenapa gak kamu dulu?"
"Karena aku yg minta kamu duluan, Al."
"Ogah ah."
"Yah, lagian hidup aku gak menarik."
"Masa?!"
"Iya. Apa menariknya seorang gadis yang hidup bersama Kakek nenek nya karena broken home?!"
"Ehem? Serius??"
"Tentu. Sudah sejak sekolah dasar."
"Kamu hebat, Tun. Tangguh."
"Apanya?"
"Ya itu. Aku aja kalau ke luar kota agak lama, udah homesick sama ibuk aku."
"Hffftt... Cowok tulen gasih?"
"Hahahaha, serius."
"Mana bisa! Jangan ngada-ada Al!"
"Hahahaha boleh percaya, boleh tidak."
"Masih gapercaya kalau ada cowok melankolis separah itu. Kasihan istri mu besok kalau ditinggal pulang bentar²."
"Hahaha, tentu tidak. Ibuku adalah orang pertama yang mencintai ku. Jauh sebelum aku kenal cinta. Tapi istriku, adalah orang yang paling dicintai ayahnya."
"Maksudmu Al?"
"Ayahnya, mempercayai ku untuk menjaganya. Tidak mungkin aku mengecewakan ayahnya."
"Dih, serius amat Al. Becanda doang."
"Bhahahahah , biarin. Biar kamu tau kalau aku orang baik."
"Aishhhhh... Seperti laki-laki kebanyakan. Buayanya langsung muncul di awal jumpa. Paling satu dua Minggu lagi kamu ketemu aku bawa cewek lain."
"Hahaha, Korban ya neng?"
"Haha, pernah sih."
"Halah, malah kemana ini pembicaraan nya. Em... Boleh dong, besok aku main ke rumah? Kenalin Kakek nenek kamu , Tun?"
"Hmmm.. tentu. Besok aku jemput di hotel kamu ya. Gak jauh kok."

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !