Monday, February 3, 2020

Sang Pengganti (Penutup)

 

Ku kira, cerita ini akan panjang. Ber- episode-episode. Nyatanya, harus kututup di sini juga. Pada tempat yang sungguh kuingin datangi dengan seorang yang spesial. Tempat paling tepat menyaksikan mentari berucap salam di ujung hari. Tempat bersejarah, dibalut cerita legenda setempat. Boko. Tumpukan batu saksi pemerintahan di wilayah Yogyakarta yang terletak di perbatasan Gunungkidul dan Sleman itu menjadi saksi. Tempat kita berucap salam sampai jumpa, tanpa tahu takdir Tuhan jumpakan lagi atau kau berlalu tanpa sempat menjadi milikku.

Masih teramat jelas lekuk indah siluet wajahmu kala itu. Kau yang sesekali bergaya di balik lensa kamera ku, membelakangi surya yang tengah berpamit. Mata indah yang bersinar kala membiaskan cahaya surya itu, jelas penuh akan semangat menyambut petualangan baru.
"Jadi, kapan pergi ke ibukota?" Tanyaku sembari berpura baik-baik saja.
"Bulan depan. Empat belas Maret dua ribu dua puluh." Dengan tegasnya kau menjawab.
"Semuanya sudah siap bukan?" Sapaku menyelidiki setiap jengkal apa yang telah kau lakukan demi menyabut tugas barumu. Di tempat baru, jauh dari aku yang masih menunggui kota istimewa ini.
"Sudah." Singkat jawabmu. 
"Syukurlah." Langsung saja kututup tanyaku. Kau tak nampak tertarik sama sekali atas apa yang kubahas.

Sungguh, aku tak pernah berpikir ada tempat istimewa di hatimu untukku. Aku hanya laki-laki sederhana yang mencintai mu tanpa alasan. Tanpa mampu mengungkapkan dengan benar atas rasaku padamu.

Kau yang sejak dua belas bulan lalu datang ke Jogja, meninggalkan kota kembang demi berpetualang di kota istimewa ini, akhirnya pergi juga. Sedang aku, yang dulu berkantor megah di Jakarta, harus menyendiri di Jogja karena mutasi ke cabang perusahaan.

"Terimakasih...." Ucapku membuka kembali percakapan sederhana, kala mentari semakin merendah.

"Kau yang dulu kukenal tanpa sengaja di sudut lapangan Monas. Dengan secangkir kopi hangat, yang semakin menjaga dari dinginnya malam kala itu."


"Kamu, yang dulu sempat berbagi setiap detil cerita di taman Lembang kota Bandung."

"Dan semuanya. Termasuk menyadarkan aku atas apa yang seharusnya kulakukan. Terimakasih."

"Jaga dirimu baik-baik, Rif! Aku yakin, kita akan jumpa lagi." Katamu sembari menatap mataku yang tanpa sadar mulai berair.

"Tentu. Kunantikan saat itu, Tun."

"Dan ini, bawalah. Barangkali, kau butuh saat dingin di kereta." Pesanku sembari mengeluarkan selembar kain dari tas pinggang ku.

"Hanya kain tenun ini yang bisa kuberikan di ujung jumpa kita. Terimakasih, sekali lagi, Tun."

"Sini, kugunakan dulu kain nya untuk mengusap peluh mu. Agar aku yakin kain ini benar darimu. Hahaha," ucapmu sembari memecah suasana yang kian haru.

"Hahahah, jaga baik-baik. Barangkali, ini jadi pengikatmu. Dari aku yang mencintaimu tanpa alasan."

"Hahahah, terimakasih. Akan kusimpan."

"Simpanlah. Jika kita ditakdirkan bersama, ini akan jadi saksi dari jeda jarak di antara kita. Jika tidak, kutitipkan ini untuk anak laki-laki mu kelak. Ucapkan padanya, untuk memberikan kain ini pada perempuan terbaik pilihannya. Dan katakan bahwa ini pemberian dari sahabat ibu."

"Hahah, kau visioner sekali. Tapi, itu lebih baik. Jelas, jika kelak kupakai terlalu sering, akan menjadi pertanyaan dari teman hidupku. Terimakasih."

Akhirnya, perjumpaan itu berakhir. Dengan pesan sederhana, dari aku yang mencintaimu tanpa alasan. Senja pun kian temaram. Perlahan, lalu gelap. Aku dan kamu kembali pulang. Seperti biasa, kuhentikan kendaraan ku di depan gerbang kostmu. Dan kau masuk. Masih dengan senyum dan pamit yang selalu memperbaiki moodku. Sampai jumpa, terimakasih.

No comments:
Write comments

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !