Saturday, September 26, 2020

Tahajjud

 

 “Hey,,, Apa kabar?”

“Lama tak jumpa.”

Katamu menyapaku yang tengah duduk menghadap kea rah barat. Tepat di mana matahari berpamitan, tanda malam segera datang.

Aku pun tak menyadari kedatanganmu kala itu. Entah, sudah berapa lama kau melihatku terus menerus dari kejauhan. Memastikan jika orang yang duduk di atas bebatuan Candi Ratu Boko adalah aku. Hingga akhirnya, kau menyapaku dari belakang.

“Hem… Baik. Kau sendiri?”

Tanyaku kembali padamu sembari menatap bias cahaya senja di matamu.

“Oh, tidak. Aku dengan putra laki-lakiku. Itu. Dia sedang berlarian.”

Jawabmu sembari menunjuk anak laki-laki yang tengah berlarian di atas rumput hijau halaman Ratu Boko.  Beberapa meter dari batu tempatku duduk. Dan satu lagi. Kau masih tak nyambung. Maksudku, yang kutanya kabarmu. Bukan kau sendiri atau dengan siapa datang ke tempat ini.

“Namanya Husein. Muhammad Faizal Husein. Kau masih ingat nama itu kan? Nama yang dulu kita siapkan.” Lanjutmu.

“Sebenarnya, bukan itu maksudku. Tapi, tak apa. Nama yang indah untuk anak laki-lakimu.”

“Hah? Oh, aku paham. Iya. Kabarku baik Sa. Selalu demikian.” Akhirnya kau paham tanyaku tanpa aku harus mengulanginya.

Hening sejenak. Udara seolah berhenti, dan menghentikan waktu. Lima tahun sejak pertemuan terakhir kami, dan di tempat ini pula kami dipertemukan kembali.

“Kau sendiri, masih senang dengan senja di tempat ini, Sa?”

“Begitulah. Sedari dulu ini adalah tempat paling nyaman untuk menghabiskan sore hari bukan?” jawabku retoris.

“Benar sekali. Oh iya, sebentar, jangan pergi dulu Sa.”

Tetiba kau berbalik dariku dan aku hanya memandangi punggungmu yang kian menjauh. Sambil terheran-heran apa yang akan kau lakukan. Tapi tak terlalu penasaran.

Bukankah cerita kami telah lama mati?” tanya logikaku mencoba menenangkan hati yang kembali bergemuruh.

Benar. Dia adalah laki-laki itu. Faizal Ramadhan. Laki-laki yang lima tahun lalu berpamitan denganku di tempat ini. Sambil ditonton eloknya warna senja yang perlahan memudar, ia berkata untuk pergi dariku. Entah alasan konyol macam apa yang membuatnya memilih pergi dan meninggalkanku dalam keterpurukan. Dan bagiku, ketika laki-laki memilih pergi maka aku tak perlu tahu alasannya. Itu tandanya dia memang tak lagi berkomitmen apapun denganku. Tanpa komitmen, dan tiada lagi rasa sayang.

Cukup bagiku kata pamit dan kuiyakan. Karena rasa dalam hati manusia laksana pasir dalam genggaman. Sekali kau ambil, perlahan ia runtuh juga. Bahkan, semakin erat kau pegang semakin sulit pula dipertahankan.

“Yang jual sudah ganti anaknya. Katanya ibuknya meninggal karena sakit setahun yang lalu. Semoga rasanya masih tetap enak, Sa. Ini satu untukmu. Aku hanya membeli dua karena Husein tak pernah suka dengan Dawet Ayu.” Katamu yang tiba-tiba saja sudah menawarkan segelas Dawet Ayu padaku.

“Terimakasih.” Singkat jawabku.

“Ngomong-ngomong, apa kau masih sering sholat malam? Dan apakah masih ada namaku di setiap doamu walau hanya dalam kata hati, Sa?”

“Setan apa yang merasukimu wahai Faizal Ramadhan.? Menanyakan perkara seprti itu padaku setelah lima tahun berlalu. Setelah seenaknya saja kau pergi tanpa memberiku alasan apapun. Bahkan, setelah kau punya satu orang buah hati yang manis di sana. Setelah kau meminang seorang wanita sebagai istri, dan kau masih menanyakan hal aneh seperti itu padaku. Di mana akal sehatmu Faizal Ramadhan? Apa yang dirasakan oleh istrimu jika mendengarnya?!”

Dalam hati. Hanya dalam hati. Kalimatku rasanya tertahan di kerongkongan dan tak sampai ke lidah untuk kuucapkan. Dan hanya dalam hati aku bergumam demikian mendengar pertanyaanmu.

Dan waktu kembali hening. Menyisakan udara yang mengisi ruang hampa dan es batu pada gelasku yang terus menguap.

“Apakah kau masih meminta aku menjadi teman hidupmu, Sa? Seperti bertahun-tahun lalu saat kita masih Bersama?” tanyamu lagi.

“Kau benar-benar gila, Faizal Ramadhan. Mana mungkin aku masih mendoakanmu.!” Kali ini akal sehatku mencoba mengambil alih gemuruh di hatiku. Walau, masih tetap tertahan di kerongkongan.

“JIka iya, aku mohon hentikan. Hentikan doa-doamu yang menyebut namaku agar menjadi teman hidupmu. Aku mohon hentikan doa-doa itu di setiap akhir tahajjudmu Ika Nafisa.”

Pintamu dengan intonasi tegas. Sembari mengarahkan matamu yang membiaskan cahaya senja it uke arahku. Tepat ke raut wajahku yang diwarnai tatapan kosong.

“Sa, mungkin ini bukan hal penting dan tak seharusnya kukatakan padamu.”

“Benar. Tak seharusnya kau mengatakan apapun sore ini Faizal Ramadhan. Tak seharusnya kau coba membangkitkan apa yang telah mati di hatiku.” Gerutuku lagi di dalam hati.

“Sa, sepuluh bulan yang lalu. Pas di tanggal ini aku duduk menangis di sudut ruangan sebuah rumah sakit.”

“Aku duduk lemas melihat tubuh bidadariku yang terbujur kaku. Melihat orang yang selama ini kuperjuangkan sepenuhnya demi menutup kenanganku bersamamu telah meninggal.”

“Empat tahun dia dengan sabar meladeni semua kebutuhan hidupku hingga akhirnya membuatku jatuh cinta, Sa.”

“Hatiku mati rasanya Sa. Baru hitungan bulan aku bisa menutup kenangan kita dengan hadirnya dia, kemudian Tuhan begitu saja mengambilnya dariku.”

“Dan kini, tinggalah aku dan Husein di dunia ini. Tak punya siapapun lagi, Sa.”

“Maka, aku mohon padamu hentikan doa-doamu yang menyebut namaku di setiap Tahajjudmu Sa. Tuhan benar-benar tak pernah tidur. Dan aku sungguh tak ingin kembali padamu. Aku tak ingin menyakitimu kedua kalinya. Dengan segala omong kosongku soal cinta. Dengan segala sikap egoisku padamu yang seperti dulu. Aku tak ingin mengulanginya, Sa.”

Gemuruh di hatiku rasanya semakin menjadi-jadi mendengar perkataanmu, Faizal Ramadhan.aku tak menyangka, sesayang itu Tuhan pada hambanya yang terus memanjatkan doa.

Sungguh, hatiku rasanya semakin bergetar. Mendengar semua perkataanmu membuatku hatiku seolah mampu merasakan kesakitan yang pernah kau rasakan. Bahkan, rasanya angin di sekitar tak lagi berhenti. Ia seolah berjalan ke sana ke mari sambil bergemuruh. Seolah mengiringi air matamu yang tanpa sadar terjatuh.

“Ayah, ayah gak papa? Kok ayah menangis? Apa tante ini nakal?”

Mungkin seperti itu yang dikatakan anak laki-laki yang tiba-tiba lari ke arah kami. Ya, itu adalah anak laki-laki yang tadi kau tunjukkan padaku. Dialah Muhamman Faizal Husein. Anak semata wayangmu.

“Gak papa kok ganteng. Ayah sama tante tadi sedang bermain lempar rumput. Nggak sengaja debunya kena mata ayah. Sini tante coba gendong kamu.”

Akhirnya aku membuka mulutku. Mulut yang sedari tadi terdiam dan tak percaya atas yang terjadi di depanku.

Dan justru, bukan tanggapan atas apa yang disampaikan oleh Faizal.

“Nama kamu Husein kan? Nama yang bagus untuk jagoan kecil ayah Faizal. Ayo, tante kenalkan dengan Indah. Anak tante Ika.” Ucapku sembari membawa Husein menjauh dari ayahnya yang sedang terisak.

Yah, tentu aku tahu rasanya. Rasa kehilangan separuh jiwanya. Karena aku pernah merasakan hal itu lebih dari sekali. Pertama, saat Faizal pamit. Kedua, enam bulan lalu ketika ayah Indah juga berpulang.

Friday, April 3, 2020

Bagian Pertama (Pengenalan)

 
Entah kenapa. Malam ini aku terjaga. Di ujung pagi, tatkala manusia lain tengah lelap dengan bunga tidurnya. Nampak pula wajah cerah istriku yang tidur di sisi lain kasur tempat aku terjaga. Raut teduh bak sinar bulan itu tak pernah sedikitpun meredup. Sejak dua puluh tahun lalu, hingga detik ini. Masih sama. Kala aku pertama melihatnya, kemudian jatuh cinta, dan berakhir pada penerimaan ayahnya atasku. Yang masih bukan siapa-siapa. Mungkin, teduhnya raut itu karena ia mampu menjaga wudhu.

Perlahan, kusingkap selimut yang membalut cinta kami agar tak membuat wanita yang dikirim Tuhan itu terbangun. Satu per satu, kaki kuinjakkan ke lantai rumah yang tersusun atas potongan batu granit yang ditata rapi oleh ayah kala itu. Dengan kepala yang masih tertunduk, kuletakkan pula kedua tangan di atas lutut sembari menghembuskan nafas panjang untuk sedikit lebih rileks. "Ada apa ini Tuhan?" Pikirku kala itu. Lama sudah rasanya tak terjaga seperti ini. Beberapa kali kuelus rambut bergelombangku yang agak kaku dan memutih dengan satu tangan. Mencoba menambah rileksnya fikiran yang terjaga di ujung pagi. Kutengok jam di dinding, jarum jam menunjuk ke angka dua dan dua belas. Tepat tiga jam sejak aku memutuskan untuk tidur.

Akhirnya, kulangkahkan kaki menuju kursi yang menghadap meja meja kerja yang di sudut kamar. Kurebahkan tubuh tua ku pada kursi antik buatan ayah yang sudah lama sekali ada di rumah ini.

Masih dengan rasa penasaran, kenapa aku terbangun sedini ini. Kutatap langit-langit, kembali kutundukkan kepala, kutatap lagi langit-langit, kutundukkan lagi, sembari beberapa kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Rasanya, tak membaik. Masih saja sama, ada yang tidak beres.

Monday, February 3, 2020

Sang Pengganti (Penutup)

 
Ku kira, cerita ini akan panjang. Ber- episode-episode. Nyatanya, harus kututup di sini juga. Pada tempat yang sungguh kuingin datangi dengan seorang yang spesial. Tempat paling tepat menyaksikan mentari berucap salam di ujung hari. Tempat bersejarah, dibalut cerita legenda setempat. Boko. Tumpukan batu saksi pemerintahan di wilayah Yogyakarta yang terletak di perbatasan Gunungkidul dan Sleman itu menjadi saksi. Tempat kita berucap salam sampai jumpa, tanpa tahu takdir Tuhan jumpakan lagi atau kau berlalu tanpa sempat menjadi milikku.

Masih teramat jelas lekuk indah siluet wajahmu kala itu. Kau yang sesekali bergaya di balik lensa kamera ku, membelakangi surya yang tengah berpamit. Mata indah yang bersinar kala membiaskan cahaya surya itu, jelas penuh akan semangat menyambut petualangan baru.
"Jadi, kapan pergi ke ibukota?" Tanyaku sembari berpura baik-baik saja.
"Bulan depan. Empat belas Maret dua ribu dua puluh." Dengan tegasnya kau menjawab.
"Semuanya sudah siap bukan?" Sapaku menyelidiki setiap jengkal apa yang telah kau lakukan demi menyabut tugas barumu. Di tempat baru, jauh dari aku yang masih menunggui kota istimewa ini.
"Sudah." Singkat jawabmu. 
"Syukurlah." Langsung saja kututup tanyaku. Kau tak nampak tertarik sama sekali atas apa yang kubahas.

Sungguh, aku tak pernah berpikir ada tempat istimewa di hatimu untukku. Aku hanya laki-laki sederhana yang mencintai mu tanpa alasan. Tanpa mampu mengungkapkan dengan benar atas rasaku padamu.

Kau yang sejak dua belas bulan lalu datang ke Jogja, meninggalkan kota kembang demi berpetualang di kota istimewa ini, akhirnya pergi juga. Sedang aku, yang dulu berkantor megah di Jakarta, harus menyendiri di Jogja karena mutasi ke cabang perusahaan.

"Terimakasih...." Ucapku membuka kembali percakapan sederhana, kala mentari semakin merendah.

"Kau yang dulu kukenal tanpa sengaja di sudut lapangan Monas. Dengan secangkir kopi hangat, yang semakin menjaga dari dinginnya malam kala itu."


"Kamu, yang dulu sempat berbagi setiap detil cerita di taman Lembang kota Bandung."

"Dan semuanya. Termasuk menyadarkan aku atas apa yang seharusnya kulakukan. Terimakasih."

"Jaga dirimu baik-baik, Rif! Aku yakin, kita akan jumpa lagi." Katamu sembari menatap mataku yang tanpa sadar mulai berair.

"Tentu. Kunantikan saat itu, Tun."

"Dan ini, bawalah. Barangkali, kau butuh saat dingin di kereta." Pesanku sembari mengeluarkan selembar kain dari tas pinggang ku.

"Hanya kain tenun ini yang bisa kuberikan di ujung jumpa kita. Terimakasih, sekali lagi, Tun."

"Sini, kugunakan dulu kain nya untuk mengusap peluh mu. Agar aku yakin kain ini benar darimu. Hahaha," ucapmu sembari memecah suasana yang kian haru.

"Hahahah, jaga baik-baik. Barangkali, ini jadi pengikatmu. Dari aku yang mencintaimu tanpa alasan."

"Hahahah, terimakasih. Akan kusimpan."

"Simpanlah. Jika kita ditakdirkan bersama, ini akan jadi saksi dari jeda jarak di antara kita. Jika tidak, kutitipkan ini untuk anak laki-laki mu kelak. Ucapkan padanya, untuk memberikan kain ini pada perempuan terbaik pilihannya. Dan katakan bahwa ini pemberian dari sahabat ibu."

"Hahah, kau visioner sekali. Tapi, itu lebih baik. Jelas, jika kelak kupakai terlalu sering, akan menjadi pertanyaan dari teman hidupku. Terimakasih."

Akhirnya, perjumpaan itu berakhir. Dengan pesan sederhana, dari aku yang mencintaimu tanpa alasan. Senja pun kian temaram. Perlahan, lalu gelap. Aku dan kamu kembali pulang. Seperti biasa, kuhentikan kendaraan ku di depan gerbang kostmu. Dan kau masuk. Masih dengan senyum dan pamit yang selalu memperbaiki moodku. Sampai jumpa, terimakasih.

Thursday, December 12, 2019

Halu

 
Pagi ini, 12 Desember 2019
Aku halu...
Setiap ku ajak menikmati aroma alam,
Kau menolak

Ku lihat, kau justru pergi ke tempat yang lain
Entahlah, rasaku terus bergejolak
Pagi ini, rasaku kembali tak karuan
Berpikir, menerka, halu, kau sudah ada yang punya

Jelas membekas katamu kala itu,
Datang siang ini ke rumah
Sial. Aku terlalu sibuk kala itu
Demi memuliakan mu!
Kulewatkan siang itu berlalu

Kini aku tinggal menerka,
Sudahkah ada? Kenapa kau tolak ajakanku?
Dan kenapa masih saja kau kirim sandi-sandi rahasia itu?
Logika ku perlahan menghilang
Beriring semakin kuatnya rinduku

Ah sial!
Haruskah sesak itu kurasa lagi?
Saat tahu kau dengan yang lain?
Rasanya, aku sebal dengan diriku sendiri
Yang lidahnya membeku saat didekatmu!

Andai bisa,
Kuingin tuhan berikan waktu untukku
Setidaknya setahun saja
Agar aku mampu muliakanmu,

Ah iya, halu
Tak cuma pagi ini saja,
Tapi, semua itu kurasa, kupikirkan
Setiap hari, setiap malam


Kata-kata ini kurangkai saat aku tak (yakin) bisa merangkulmu (@dsuperboy)

Friday, September 20, 2019

Senja Yang Temaram

 
Kepadamu wahai senja yang sirna jingganya
Sungguh, benar telah kutitipkan seutuhnya
Rasa gelisah yang telah lama tak kurasa
Hanya kepadamu, sekalipun kau tak merasa

Sunday, August 25, 2019

Kalau Memang Tidak Bisa, Jangan Dipaksakan

 

Sore ini Jogja cukup syahdu. Matahari bersinar di akhir pekan, terhalang mendung tipis yang tak menandakan hujan. Rasanya, nikmat untuk bersantai. Sayang aku terlalu mendramatisir banyak hal di dunia ini. Hingga, tiada kabarmu saja mengganggu jalannya hariku. Kalau saja tidak ada sikapmu yang kuanggap teka teki itu, rasanya hidupku sudah hambar.
Tapi, teka teki mu sebenarnya tak membawaku pada hal yang lebih baik juga. Ia justru memenuhi otak dan merusak mood di setiap waktu. Sayangnya lagi, tidak ada orang lain yang menarik dalam hidupku. Sungguh menyedihkan.

"Apa kabar hari ini?" Tanyamu.
"Baik. Bagaimana harimu?" Jawabku.

Dan demikian saja rasanya aku seperti terbang tinggi yang kemudian jatuh ke jurang kekecewaan. Ku rasa, sudah saatnya aku berhenti memprioritaskan kamu di hidupku. Sudah saatnya berhenti memenuhi otakku dengan hal hal yang tidak menyehatkan itu. Sayangnya, aku seketika menjadi balita yang tengah belajar berjalan. Mencoba menguatkan tekad untuk melangkah maju, yang selalu takut terjatuh dan justru kembali mundur.

Padahal, jika jatuh, aku bisa bangkit lagi bukan? Jika akhirnya aku hidup tanpa kamu lagi, tidak ada yang berubah bukan? Semua akan kembali seperti sebelum cerita ini dimulai. Aku akan baik-baik saja sebagaimana pernah melalui hidup di waktu yang lalu. Itu saja.

Ku rasa, kalimat seorang sahabat itu pantas menjadi penguat hidupku. Adalah "Berhenti memperjuangkan yang tidak pasti." Kurang lebih demikian, dan yah. Oke. Detik ini juga aku memulainya. Semua akan kembali seperti sedia kala. Aku tidak punya alasan hidup di titik ini, sendirian. Jika pada akhirnya, dengan tiba-tiba Tuhan kabarkan hal yang aku harapkan sebelumnya, itu adalah hadiah. Sebaliknya, jika memang kita harus menjalani hidup masing-masing, itu tak apa. Belum lama ini juga aku mengalaminya bukan? Dan, memang sedikit iri. Tapi itulah hidup. Itulah tumbuh. Kau butuh kaki yang kuat untuk berlari. Dan kau butuh tulang rusuk yang tangguh untuk menjaga organ vital titipan Tuhan. Tidak ada artinya suatu kaki yang kau idamkan tapi tak pernah mampu membawamu menuju keceriaan. Terimakasih. Sudah menjadi pengganggu dalam tidurku.

Monday, July 8, 2019

May, it's not the right time

 

I still don't know what do you feel
From a few years ago, till now
I just understand that you are so unic
You're so different

I just wanna you to see
In this last few month, i can't stop thinking about you
I feel something different, in the deepest of my heart
I started afraid from loosing you
At the time you look so different than usual,
That feel comes stronger
I'm afraid can't tell you what i feel, and really loosing you
Give me a time to stated what i feel directly,
So everything can be clear

Thanks for comes to me at the  time i really down
Thanks for being my new power at the time i tired
Thanks for being one of my reason so i did that theses
Sure, i'm falling in love with you now.

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !