Hai,
aku adalah seorang anak perempuan yang super tomboi. Meski penampilanku
terkesan cewek banget, dengan rambutku yang terurai panjang ini selama aku
masih SMA tidak ada satupun laki-laki yang berani denganku. Melalui kedekatanku
dengan banyak pihak di sekolah mulai dengan karyawan, guru, dan sesama siswa, pada
tahun kedua aku SMA mampu membuatku menjadi ketua OSIS. Yah, benar. Semua
sainganku kuancam agar aku menjadi calon tunggal ketua OSIS periode tersebut.
Alhasil tidak ada yang berani mendaftar sebagai sainganku. Bahkan siswa
laki-laki paling besar badan dan ototnya pun nyalinya kalah denganku. Dan masa
itulah yang mengawali idup baruku. Selama satu tahun sekolah di SMA itu,
aktivitas yang kulakukan setiap hari adalah selalu memalak uang saku siswa di
sana. Dan anehnya taka da yang mau melawan. Ada yang bilang jika sikapku yang
keras ini karena aku dibesarkan tanpa ada ayah dan ibu. Aku hidup bersama
bibiku yang hanya pas-pasan dan bahkan untuk makan setiap hari saja susah.
Bibiku mengaku bahwa ia menemukan bayi kecil beberapa tahun yang lalu di
pinggir sawahnya, dan akhirnya ia memutuskan untuk merawatnya sehingga bias
tumbuh sedewasa ini meskipun menjadi anak perempuan yang cukup begajulan.
Anehnya,
meski selama satu tahun aku selalu menjadi preman di sekolah, guru-guruku taka
da yang pernah memanggil bibiku. Bahkan terkesan taka da yang salah denganku.
Mungkin ini disebabkan perbuatanku, tomboiku, dan keberanianku yang membuat dua
kelompok siswa yang biasa tawuran di sekolah tersebut menjadi tak pernah
tawuran lagi. Di sekolah tersebut hanya ada satu orang yang berani memukul
ketua dua geng terbesar di sekolah yang sering bikin onar. Dan itu adalah aku.
Itulah kenapa mereka tak pernah membuat onar lagi, karena setiap aku lewat
mereka seperti kucing yang didekati anjing. Jika kalian penasaran siapa namaku,
orang-orang biasa memanggilku Intan. Nama yang cantik memang, tapi kalian tak
akan terbayang betapa anehnya tingkah laku gerombolan siswa saat mendengar
namaku di sekolah tersebut.
“Intan
jalan dari gerbang….”
Hanya
dengan satu kalimat singkat tersebut, seluruh gerombolan siswa yang tengah
asyik bersendagurau seketika menjadi tenang, sunyi dan sepi. Seolah mereka
mendengar kabar akan terjadi badai di suatu daerah.
Satu
tahun periode OSIS akhirnya telah berakhir. Kemenangan yang kudapat dengan tak
terlalu sportif itu ternyata justru memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Belum ada masa yang bias sesukses kepemimpinanku. Berbagai prestasi yang pernah
diraih di tahun-tahun sebelumnya, dapat kami pertahankan dan bahkan kami
tingkatkan. Dengan kekasarnku aku mampu membuat dua orang ketua geng pembuat
onar tersebut mencapai final kejuaraan karate tingkat nasional. Tentu hal ini
menjadikan sekolah kami sebagai juara 1 & 2. Selain itu, paskibra sekolah
yang tak pernah sekalipun maju dalam suatu lomba, akhirnya mendapat juara 1 di
tingkat provinsi dan masih banyak lagi. Akan tetapi, jabatanku tersebut harus
berakhir. Aku dan siswa seangkatanku sudah masuk ke kelas 12. Dengan demikian
ketua OSIS juga harus digantikan dengan ketua OSIS yang baru.
Kebadunganku
tak berhenti seketika di masa tersebut. Saat kelas 12 aku masih tetap menjadi
momok menakutkan di sekolah. Bagaimana tidak, juara karate tingkat nasional pun
dapat kujatuhkan hanya dengan satu pukulan di pusarnya. Bahkan setelah
peristiwa tersebut, sehari setelah menjadi juara karate dan kupukul, sebut saja
Doni, harus opname selama satu minggu di rumah sakit hanya karena pukulanku.
Mungkin dengan cerita ini kalia akan berpikir bahwa aku memiliki badan yang
kekar dan lengan berotot. Bias dikatakan seperti itu. Kerasnya hidupku bersama
bibi memaksaku untuk selalu membantunya di sawah setiap harinya. Dan itulah
yang membuatku memiliki tubuh sekuat itu.
Bulan
Agustus tiba, satu bulan setelah tahun ajaran baru di kelas 12 ada satu orang
siswa laki-laki masuk. Dia adalah Reza, sebut saja begitu. Sontak seluruh siswa
perempuan memujanya karena dia adalah siswa yang kaya, keren, ganteng, dan
juara olimpiade matematika tingkat nasional. Dengan wajahnya yang sok polos
tersebut, dia memeprkenalkan diri layaknya anak baru pada umumnya, di depan
kelas. Dan satu kelas pun penuh dengan teriakan suara siswa perempuan.
***
“Aku
Reza, kamu siapa?” tanyanya padaku di waktu istirahat.
“Intan….”
“Nama
yang cantik. Sama kayak orangnya.” Sahutnya.
“BBbbbbbbbboouuughhhtttt!!!!!!”
Suara
yang tiba-tiba mengagetkan orang-orang disekeliling kami yang baru saja
berjabat tangan. Ya, itu adalah suara hantaman dari genggaman tanganku. Tepat
mengarah ke pelipisnya yang berkulit putih cerah tanpa ada jerawat satupun.
Bahkan, lalat pun tak akan kuasa mengganggu mata yang dimiliki Reza karena
saking indahnya.
“Loh?
Kenapa?” tanyanya padaku.
“Sialan……”
dalam hati aku mengatakannya saat ia memegang tanganku yang mengarah tepat ke
pelipisnya. Ini baru pertama kalinya ada seseorang yang mampu menepis pukulanku
di sekolahan ini.
“Kamu
emang beneran cantik kok…..” katanya padaku yang kala itu masih memandangi
wajahnya dengan posisi tanganku yang juga masih dalam genggamannya.
“Lepasin
gak!”
“Iya
deh, galak amat sih neng..”
Itu
adalah pertama kali ada orang yang bilang aku cantik. Dan dia adalah siswa
laki-laki yang baru saja masuk ke sekolahanku, berhasil menahan pukulanku,
serta idola semua siswa perempuan di sana. Setelah kejadian itu memang banyak
orang yang membicarakannya, bahkan di segerombolan siswa laki-laki pun sering
membicarakan kejadian itu. Sempat pula aku mendengar ada yang heran denganku,
katanya aku memiliki kulit yang putih mulus, padahal sering membantu bibi di
sawah. Selain itu beberapa kali terdengar mereka memuji rambutku yang lurus
terurai panjang, serta wajahku yang sama sekali tak berminyak ataupun pernah
berjerawat. Hanya saja keadaan yang sama, yaitu selalu menjadi hening saat aku
lewat belum pernah bias hilang.
Tiga
hari setelah kejadian itu entah kenapa siswa laki-laki bernama Reza itu jadi
sering memanggil-manggil namaku, dengan gaya sok akrab serta sering mengajakku
pergi bermain. Bahkan tak jarang mengantarku pulang sampai membantu bibiku pula
di lading.
Satu
bulan berlalu. Kurasa tebakan kalian sudah pasti benar. Dengan intro berkenalan
seperti itu apa yang akan terjadi selanjutnya kalian sudah dapat menebaknya.
Ya, pacaran adalah trend masa itu. Dan demikianlah kami. Desas-desus pujian
kami adalah pasangan paling cocok di sekolah pun tak dapat dihindarkan. Entah,
padahal aku merasa biasa saja. Dan Reza yang memang sejak masuk di sekolah
tersebut tak memiliki geng, sama halnya denganku, menjadi salah satu orang yang
dihormati oleh siswa lain. Perbedaannya denganku hanyalah dia memiliki sikap
yang bijaksana, sehingga orang lain menghormatinya. Sementara aku, mereka takut
kepadaku karena kekerasanku.
Oke…..
detik demi detik, hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan
berganti bulan. Tibalah di sini pertengahan tahun ajaran kelas 12. Entah,
mungkin karena ada gejolak yang tak pernah muncul di hatiku dan kini aku
perlahan berubah. Yang dulu terkesan keras dan kasar, perlahan orang-orang
mulai mau menjadi temanku. Semakin dekat dan terus mendekat. Hingga akhirnya
banyak orang yang saat itu menjadi temanku kemudian kami belajar bersama tentang
perubahan di masa remaja. Reza yang juga seorang yang cukup paham soal agama
mulai mengajarkanku tentang agama. Tentang cara berhubungan dengan manusia
serta dengan sang penciptanya. Adalah Islam, agama yang tertulis di seluruh
kartu identitasku yang tak pernah kucoba pahami apa artinya. Teman-temanku pun
demikian, mereka yang sudah sejak lama mengenakan jilbab mendekatiku dengan
alasan berdakwah. Dan berdakwah adalah perintah agama, katanya. Memang benar,
lingkungan adalah segalanya. Aku yang semula tak pernah paham tentang agama
perlahan kini kutunaikan kewajibanku, berawal dari belajar sholat sampai
akhirnya satu bulan berjalan di semester terakhir masa SMA ku, aku mampu sholat
dengan baik. Memasuki bulan kedua, aku mencoba seperti teman-temanku.
“Ih
kamu tambah manis kalau pakai kerudung.” Puji Reza yang kala itu adalah
kekasishku.
Ya,
setelah aku belajar sholat aku mulai menutup rambut panjang yang tak jarang
kudengar siswa perempuan di sekolahku iri terhadapnya. Kulit di lengan serta
kakiku yang mulus pun kini tak dapat dilihat oleh siapapun lagi. Hanya
tertinggal wajah yang menurutku tak lebih cantik dari mereka yang sering
memujiku, serta tangan kasarku yang mampu membuat semua orang takut kepadaku
lah yang kini masih dapat terlihat dengan jelas.
Bumi
terus berputar. Dan ujian nasional tinggal menghitung hari. Entah kenapa ada
yang mengganggu pikiranku. Mungkin karena aku dan Reza lama tak jumpa kala itu.
Maka sejak saat itu kami menjadi sangat akrab. Tak kurang seminggu sekali kami
selalu pergi bersama. Ke tempat wisata, taman, dan bahkan belajar bersama.
Hingga akhirnya nilai kelulusan UN telah diumumkan dan kami adalah juara
tertinggi de sekolah tersebut. Dengan rata-rata yang sama senilai 9,25 membuat
kami menjadi peraih nilai tertinggi satu provinsi. Selanjutnya kami pun
mendapat kesempatan menaikkan jenjang pendidikan lagi. Dan masih sama, setiap
hal kami lakukan bersamaan sampai diterima di tempat pilihan kami
masing-masing.
Waktu
seolah berputar begitu cepat kami lalui. Satu tahun di universitas kami tak
pernah punya masalah satu sama lain. Hingga akhirnya petunjuk Tuhan yang
sebenar-benarnya muncul padaku. Adalah niat untuk berhijrah yang menghampiriku.
Perlahan kegelisahan dengan adanya statusku dengan Reza membuatku tak nyaman
kepada Tuhanku. Dan kuungkapkan apa yang telah kurasa pada Reza. Seketika ia
menjadi dingin dan bersikap acuh padaku, tapi aku tak pernah putus asa. Aku
ingin menjaga hubungan kami tetap baik walau Reza masih terus mengacuhkanku.
Mimpi untuk penjagaanku pun berakhir saat Reza memutuskan untuk berhenti
sementara dari studinya. Ia pergi mencari suasana jauh dariku dan rasa tidak
terimanya dengan perlakuanku membuatnya putus asa. Malam dan bintang yang
menajdi saksi kebersamaan kami setelah senja pergi seolah menangis mengiringi
kepergian Reza ke kampong halamannya. Hujan lebat disertai petir saat Reza
meninggalkan kota kecil sederhana tempat kami menuntut ilmu bersama, menandakan
betapa langit teramat mengerti kehancuran yang dirasakan Reza. Bahkan
kunang-kunang yang telah lama tak kulihat di depan rumahku bermunculan sesaat
setelah badai besar itu reda. Mungkin Tuhan menghiburku yang tengah kehilangan
separuh sayapku.
Tak ada
satupun yang dapat mengerti tentang lukaku memang. Seolah semuanya baik saja.
Jika kalian berpikir demikian, mungkin karena ceritaku tak sepanjang kisah
hidup kalian. Berawal dari perempuan yang menakutkan di sekolah, Reza-lah yang
merubahku menjadi seorang perempuan feminim yang mungkin membuat kalian iri. Kemudian,
pada akhirnya kulepaskan dia yang selama ini selalu menjadi punggung tempatku
bersandar.
Malam
itu juga mataku tak kuat menahan pedihnya angin yang berhembus, dan
berlinanglah butiran-butiran Kristal kenangan di antara kami. Dan akhirnya
waktu bergulir dengan begitu cepatnya. Aku dan Reza lama tak berjumpa dan tak
pernah ada kata putus di antara hubungan kami namun Reza menganggap
permintaanku tersebut sebagai kata putus. Lama tak berjumpa dan kembali
kujumpai Reza di sebuah tempat yang siapapun tak pernah menyangkanya. Adalah meja
hijau yang menjadi saksi bisu kejadian tak terduga ini. Memang, seperti
mata-mata salah satu teman semasaku SMA yang mengabariku bahwa Reza terjerat
suatu kasus gila tak masuk akal. Dan seketika aku mendengar berita tersebut
kumohon pada hakim yang tanpa disengaja akhirnya kutemui adalah ayahku. Memohon
agar memberikan putusan penangguhan penahanan pada Reza. Tiga kali palu
diketuk, seketika pula aku menghampirinya dan…….
”PLAKKK…..!!!”
Mungkin aku terlalu berlebihan
menamparnya, namun aku tak menyangka orang seperti dia bias berbuat sekeji itu.
Setelah aku melontarkan semua kata-kata sakit hatiku padanya akupun berlalu,
dan dia menarik lenganku yang kala itu mengenakan baju lengan panjang lengkap
dengan sarung tangan.
“Lepaskan…… aku nggak mau lihat
muka kamu lagi yang seperti ini.!”
Terpukul? Ya. Seorang yang
mengajakku ke jalan tercerah di dunia ini justru berbalik arah hanya karena cinta
semu di antara sesame manusia.
“Kamu sadar gak Za? Aku saying sama
kamu lebih dari siapapun di dunia ini. Bahkan apapun akan kulakukan hanya untuk
kamu. Tapi kamu justru pergi saat itu, dan sekarang muncul di depanku dengan
hal yang sangat mengecewakan. Ingat! Sakit hatiku ini, ingatlah Za!!!”
Dan detik itu pula kami berpisah.
Rindu yang dulu kurasa tak mampu terobati dengan semua rasa kecewa yang telah
dibuatnya. Dan kami pun kembali berpisah sekian lama. Jalan dengan kehidupan
masing-masing dan aku pun tak peduli lagi dengan semua tentang Reza walau
hatiku tetap merindukannya dan setiap malam selalu terpikir akan semua kisah
kami bersama.
***
Berakhir. Semua kisah tak jelas
itu akhirnya kini berakhir. Saat aku memasuki usia 25 tahun, tepat di hari
ulang tahunku semuanya berakhir. Secara tiba-tiba yang kala itu Reza telah
memegang gelar seorang haji, yang telah lulus pula dalam menempuh pendidikan di
negeri luar, meminangku sebagai istrinya. Tanpa terduga, hidup memang tak bias kita
perkirakan. Insan yang telah lama terpisah ini dapat kembali bersatu masih
dengan hati yang hangat serta di jalan terlapang di dunia ini. Akad yang 3 hari
setelah kedatangan Reza ke rumahku pun akhirnya terlafadzkan. Dan ini adalah
akhir dari semua kisah di antara kami.
No comments:
Write comments