Purwokerto, Aku Kembali Belajar Tentang Cinta
Aku hidup telah cukup lama. Setidaknya sekitar 21 tahun atau 1/3 + 1 tahun usia normal umat islam yang pernah disampaikan oleh para alim ulama yang berdakwah itu. Tepat pada 23.30 aku menuliskan cerita konyolku hari ini. Tentang cinta dan rindu serta perjuangan yang aku merasa tak dihargai walau hanya sedikit.
Kali
ini aku belajar banyak tentang cinta, satu kata berjuta makna yang sering
kugunakan saat mengungkapkan tinta hitam yang membekas di dalam hati. Satu kata
yang juga memiliki arti kebalikan yang tak mungkin dipisahkan darinya. Adalah
“jika kau berani jatuh cinta, maka berarti kau harus siap merasakan lara”.
Setidaknya itu yang ada dalam otak dan membekas di sudut hatiku. Dan itu benar.
Adalah
perjalananku ke sebuah kota di Indonesia yang sebelumnya pernah kujumpai walau
dengan gaya santai tanpaada perencanaan. Dan kali ini berbeda dengan “kala
itu”, karena ini terencana. Tepatnya adalah sebuah instansi yang tengah
mekar dan naik daun di kalangannya. Instansi yang naik daun sejak 7 tahun lalu
akibat tingkah laku penguasa tak bertanggung jawab yang berhasil
mendidik mereka menjadi yang dikenang. Di instansi itulah
aku belajar tentang cinta ini.
Satu,
bahwa yang disebut dengan cinta adalah karakter.
Aku
selalu berkata hal yang sama kepada orang-orang yang ku-cinta-i itu bahwa, “cari
yang mau(belajar), bukan yang mampu”. Dan ternyata di instansi ini aku mendapat
pembenaran.
Karena bahwa gelas yang berisi karakter itu akan dapat diisi skill tinggi yang mampu mengalahkan mereka
yang mengisinya. jauh lebih baik daripada gelas yang terisi penuh
(read: yang mampu). Dan di sini juga aku merasa benar jikalau aku
selalu memilih mereka yang merasa sendiri dan tak terpegang, daripada mereka
yang selalu terpegang dan tertanam di dalam jiwanya sebagai yang
diutamakan.
Yap.
Untuk mampu membangun suatu pondasi yang kokoh dalam suatu organisasi adalah
dengan memanfaatkan mereka yang
berkarakter. “Jujur itu ada dari dalam diri dan tak mungkin diciptakan dari
luar.” Setidaknya itulah yang selalu membuatku percaya kepada mereka yang
merasa “terasingkan” (read: minder).
Dua,
bahwa pendidikan itu penting demi adanya “stabilitas”.
Aku
adalah actor karbitan dalam serial drama cinta di Yogyakarta ini. Setidaknya 3
tahun yang lalu aku memulai karirku sebagai actor karbitan yang sebenarnya
tidak terlalu mau belajar juga. Tapi entah, beberapa waktu lalu ada suara
yang kembali memanggilku mengabdi pada nama yang memberiku luka mendalam itu.
Syukurilah,
kalian yang pernah merasakan nikmatnya sebagai Staff (read: operasional), atau
sebagai Junior (read: asisten). Kenapa? Jelas karena kalian bukanlah seorang
karbitan sepertiku, kalian ada di jenjang yang tak kulalui dan kalian memiliki
kompetensi dasar/pondasi yang jauh lebih kokoh dariku. Inilah hal kecil yang
memaksaku menyesal telah melalui hal konyol akibat permasalahan ekonomi yang
sebenarnya bias diatasi itu.
“andai
aku bisa, aku akan kembali pada saat itu dan lebih berjuang. mungkin aku dapat
lebih baik di titik ini”. Tapi waktu takkan mengizinkanku. Ia takkan
mengizinkanku untuk kembali, karena memang sudah memastikan bahwa semua itu
harus jadi penyesalan bagiku.
Entah,
saat ini aku merasa aneh dan gila, karena seolah tak mampu menjadi teman yang
baik dalam mendampingi belajar. Jika menuntut ilmu dariku, jelas anda salah.
Karena saya sampai saat ini (masih) buka orang berilmu. Saya
hanya bisa mendampingi dalam pembelajaran karena memang ilmu itu telalu
kompleks untuk saya kuasai.yang terpenting dalam hal ini adalah, “jika anda
lelah, butuh bahu, jika anda bosan, butuh telinga sebagai pendengar, atau jika
anda marah, butuh tempat mengadu, saya takkan pernah hilang”. Scroll saja kontak di handphone-mu dengan namaku, dan aku pasti
akan menjadi semua itu untukmu. Karena bagiku, menjadi tempat bercurah
lelah adalah bahagia.
Ketiga,
belajar manajemen personalia kepada PMSM Yogyakarta.
Salah
satu ilmu yang membuatku sangat tertarik untuk terus menyelam adalah psikologi.
Ini seperti mendengarkan cerita hati orang lain, dan belajar memahami apa yang
sebenarnya ada di dalam dirinya. Entah, tapi aku suka. Beberapa kali di sini
disebut “generasi millennial” yang aku masih berlum terlalu paham
akannya. Yang jelas, dia adalah “yang mengutamakan eksistensi diri (dikenal
luas) daripada harta/materi”. Generasi unik yang entah seperti apa track recordnya kelak.
Keempat,
kompetensi setiap jenjang adalah sama dan terukur. Jika terdapat yang lebih
baik, maka dia unggul.
Apa
maksudnya? Kau telah melewati pendidikan. Seharusnya kau memiliki ilmu yang
seharusnya kau dapat di sana. Jika ilmu yang kau miliki melebihi dari itu,
berarti kau unggul. Kau istimewa. Dan kau, tak layak untuk berhenti, apalagi
mundur. Hal paling menyedihkan memang adalah mundur/pulang sebelum berperang.
Dan aku tak ingin mengulangi kesalahan itu lagi. Karena apa? Karena
kamu terlalu berharga untuk kutinggalkan.
Ingat,
syaratnya satu. Presiden takkan baik di mata seluruh rakyatnya, apalagi
orang-orang sampah sepertiku. Pastikan kau mendukung yang kulakukan jika kau
memang menggunakan hati dalam menentukan rindumu. Aku pasti akan berada pada
waktu membuatmu kecewa, tapi buatlah aku tetap istimewa. Seperti saat pertama
hatimu memilihku, dan bukan seperti saat aku seperti sampah di matamu.
“Jika kau masih tak percaya
kau berharga, aku tak peduli. Yang terpenting adalah apa yang aku rasakan.”
Kelima,
bahwa pendidikan adalah tentang memanfaatkan orang lain.
Kenapa
tidak layak disebut begitu? Padahal jelas-jelas jika kau mendidik untuk
membelajarkan adalah dengan melibatkan mereka yang haus akan ilmu. Itu adalah
memanfaatkan. Karena pasti “jika kau
beri tahu, dia akan lupa; jika kau tanya, mungkin dia akan ingat; tapi jika kau
melibatkannya, pasti dia akan belajar.” Ilmu sesederhana itu jika kau meu
mempelajarinya. Sederhananya adalah “kau mau mempelajarinya dengan kewajiban
untuk mengamalkannya, atau tidak, dan berarti kau tak berbeda dengan batu.”
Keenam,
bahwa cinta tak harus selalu bersama.
Malam
terlalu gelap kala itu. Bintang tak terlihat dan justru butiran air yang datang
mengunjungiku. Yang terpenting di sini adalah rasa kesendirianku. Tak ada
satupun yang menemaniku walau angin malam begitu dingin. Dan itu memang sudah
seperti biasanya, yang aku selalu sendiri. Aku pun tak suka jika terlalu ramai,
itu terlalu hampa untuk yang tak jelas sepertiku.
Yap.
Cintaku malam ini tak disisiku, walau dia tak terlalu jauh dari pandangan
mataku. Tapi sakit yang kurasa tak seberapa karena aku sudah pernah merasakan
yang lebih hancur dari itu. Cintaku mala mini berlalu dengan dia yang lain. Dengan
dia yang aku tak pernah merasa lebih baik darinya. Setdaknya sampai detik ini.
Jadi,
Kota Kecil Purwokerto mengajarkanku banyak hal hari ini. Apalagi tentang cinta.
Yang dulu tak pernah menyentuhku setidaknya selama 2 tahun. Tapi di sini ada
yang mengajarkanku untuk kembali mencinta. Walau dengan arti yang sedikit
berbeda dari cinta yang dulu “pernah ada”.
23 Oct ‘17
#anaktanitepus