Sepertinya
2 tahun masih belum cukup untukku dapat menjadi seseorang yang berbeda, dan
melupakan segalanya yang pernah terjadi dalam kehidupanku. Bayang-bayang itu
masih sangat kuat menempel dalam benakku. Bahkan, ini adalah saat ke sekian
kalinya aku kembali masuk pada kehidupan seseorang setelah orang yang
sebelumnya “mungkin” penuh harap kepadaku akan suatu status terhadapnya, telah
lelah menantikan kepastian akan hal itu. Dan bahkan, sampai detik ini pun aku
masih belum bisa mengerti arti sesungguhnya istilah yang memberikan bekas luka
mendalam padaku, yang mereka sebut dengan “pacaran”. Kata yang menurutku sampai
detik ini masih belum bisa konkrit memiliki definisi yang dapat masuk ke dalam
akal sehat karena dari beberapa orang yang kujumpai menyampaikan berbagai
pernyataan yang berbeda.
Aku
memang sudah cukup lama mengenal istilah itu lengkap dengan berbagai kisah dari
orang di sekelilingku yang pernah juga “merasakan” fantasi atas istilah tak
konkrit itu. Tak jarang pula di antara mereka menggunakan istilah lain untuk
menyebut perlakuan yang sama pada hal tersebut. Kurang lebih satu tahun yang
lalu. Aku memasuki kehidupan seorang gadis yang aku sendiri tak tahu apa
tujuanku untuk mengenalnya. Apakah hanya sebatas untuk mencari pelampiasan atas
perasaan kesendirianku, mencari calon pengisi ruang hati yang sering
diistilahkan sebagai pacar itu, atau bahkan mungkin aku menyebutnya sebagai
portofolio masa depan karena mungkin suatu saat nanti Tuhan akan memberikan
waktu kepada kami untuk bersama. Aku sampai detik ini masih tak mengerti.
‘Hey....
apa kabar denganmu?’
‘Masih
seperti dulu. Tak ada yang berubah dari kesederhanaanku.’ Jawabku kepadanya
yang begitu sering memanyakan hal yang sama seperti itu berulang kali.
Lebih
konyolnya lagi, pertanyaan yang sama seperti itu sering hinggap di mata atau
telingaku dari orang yang memberikan bekas mendalam di hidupku. Waktu bergulir
begitu cepat dan tak terasa sampai detik ini sudah sekitar satu tahun
perbincangan konyol di antara kami yang tanpa tujuan itu terjadi dan terulang.
Bahkan mungkin tanpa sadar mulai muncul rasa nyaman hanya dari perbincangan
konyol itu, dan mungkin juga ini akan menjadi kisah yang sama seperti
perjalananku dengan gadis yang sebelumnya juga menghilang setelah lelah
menantikan kepastian karena trend gaya hidup yang ada pada saat ini. Dan itulah
yang menjadi alasanku mengapa tak pernah kujatuhkan perasaan dan harapku kepada
hati-hati yang belum lama kukenal. Trauma rasanya adalah kata yang paling pas
untuk menyebut ketakutanku atas jatuhnya hati dan harapan ini kepada hati-hati
yang berlalu itu.
Pagi
kali ini terasa begitu sejuk bagiku. Melihat orang-orang berlarian sepanjang
jalan yang kususuri dari tempat biasa kudirikan sholat bersama dengan orang
setempat menuju kediaman sederhanaku sambil kunaiki kuda besi tak berasap
dengan dua kaki. Entah apakah memang pagi ini disajikan oleh Tuhanku dengan
begitu cerahnya, atau karena aku melihat sosok yang begitu nyaman dalam
pandangan serta ingatanku hingga indahnya terbawa dari dunia fantasiku. Yah,
gadis manis yang mampu benar-benar membuatku merasa sanggup hidup tanpa tidur
itu namanya adalah Isna. Gaya yang sederhana walau “sepertinya” berasal dari
orang berkecukupan itu, tak salah lagi adalah malaikat penjaga jiwaku yang
dikirimkan oleh Allah kepadaku dari surga. Kacamata bulat yang tak pernah bosan
kulirik di setiap waktu yang kumiliki itu, seperti tamparan bagiku yang dulu
beranggapan bahwa orang berkacamata adalah orang yang culun. Dan sekarang,
seperti Tuhan menghadapkanku kepada hal yang tak bisa kutolak lagi kehadirannya
dalam duniaku.
Aku
pun tak mengerti kenapa waktu bergulir akhir-akhir ini terasa begitu lama.
Menatap tawanya saja seolah sudah sangat lama. Padahal, siang di mana aku
bertemu dengan Isna baru minggu kemarin. Tidak ada hal istimewa dalam
perjumpaan kami kala itu. Dia tersenyum dan tertawa seperti biasanya. Aku pun
demikian. Tanpa kutunjukkan betapa hatiku memujanya, aku hanya mengajaknya
berbicara untuk sedikit berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Ini
bukan tentang trend yang hanya ingin saling mengenal tapi tidak untuk pacaran,
bukan. Dari sorot matanya saja aku sudah sangat paham dia bukan tipe orang yang
suka bermain dengan hati, dia adalah orang yang suka berteman dengan siapapun.
Dan
hari ini, tiga hari setelah aku melihat pagi yang teramat cerah itu, adalah
perjumpaanku dengannya yang kesekian kalinya. Perlahan aku mulai salah tingkah
dengan penampilanku. Aku yang memang tak pernah bisa dandan sebagai seorang
pria, hari ini merasa begitu canggung untuk menemuinya. Dengan didampingi
hangatnya mentari pagi, aku berencana mengajaknya untuk mengunjungi suatu
tempat yang menurutku cukup istimewa. Setidaknya tempat yang kuyakin belum
pernah dikunjungi Isna sebelumnya.
Adalah
rasa tak karuhan yang ada saat kutahu ternyata dia mau menerima ajakanku untuk
pergi. Dan hari ini sepertinya Tuhan mendukung acaraku karena mendung sama
sekali tak hadir. Adalah secangkir jingga di langit senja yang menjadi
pilihanku pada saat pertama kali kuajak Isna menjumpai indahnya alam itu. Ya,
dia adalah gadis luar daerah yang tak suka bepergian hingga belum pernah
menyaksikan tingginya bukit di mana Ratu Boko berdiri dengan kokohnya. Dan
tepat sekali dengan dugaanku. Dia yang seperti gadis pada umumnya itu,
sementara aku yang memang sedikit berbeda dari kawan-kawanku, bersama, berdua,
kami mengabadikan tidurnya langi merah di ufuk barat bumi dengan lensa kamera
DSLR yang kupinjam dari kawanku. Bagaikan model dan fotografernya, isna bergaya
di dalam lensa kamera itu baik dengan menghadap maupun membelakangi langit
senja. Tak ada yang istimewa, satu pun tak ada. Hanya senyum dan tawanya yang
semakin membekas di dalam jurang hatiku yang telah lama ditinggalkan oleh
penghuninya. Dan kini, adalah dia yang mampu merasuk jauh ke dalam jurang yang
aku pun sampai detik ini masih yakin jika sakit itu akan sangat mungkin untuk
kembali terulang.
“Ini
masih mau berapa frame lagi pak?” tanya Isna padaku yang terus sibuk dengan
kameraku untuk mengabadikan gambarnya bersama langit senja itu.
Nampak
sedikit bias langit merah dalam kaca mata bundarnya saat aku menghampirinya
untuk meminta sedikit gambar bersama. Dan, itulah teman bagi seorang Isna.
Tanpa ragu ia menerima tawaranku untuk foto bersama dan mengabadikan merahnya
senja kala itu dengan lensa kamera yang mungkin tak akan kudapati lagi momen
seperti itu.
Rasanya,
senja begitu dmaai meninggalkan terangnya bumi bersama bidadariku untuk sejenak
tertidur di balik belahan bumi lain. Detik akhirnya bergulir dengan begitu
cepatnya lagi. Adalah rumah Allah destinasi selanjutnya petualangan kami kali
ini. Yah, seperti sebelum-sebelumnya aku yang masih merasa tak pantas untuk
menampakkan wajahku kepada Tuhanku hanya mengekor saja ketika Isna mengajakku
menemui-Nya. Dan luar biasa. Tak ada pria satu pun kala itu selain diriku yang
berada di Masjid megah dekat Ratu Boko. Tanpa ada masalah dan pertmbangan semua
orang memintaku untuk menjadi pemimpun sholat Maghrib berjamaah kala itu. Lalu,
tibalah seorang pria tua yang nampaknya adalah warga sekitar yang turut mendiringku
ke depan pertanda memang aku yang harus menjadi pemimpin sholat kala itu.
“Baiklah....” jawabku dalam hati walau detak jantungku tak stabil dan cenderung
terus meningkat.
Tak
ada hal yang lebih istimewa lagi selain memohon ampun kepada Tuhan yang telah
memberiku kehidupan dengan beriring ribuan doa di belakangku. Dan, lirih dalam
doa di akhir shalatku kuucap nama Isna kepada Tuhanku berakhiran “jika memang
engkau izinkan, maka jadikanlah dia, tapi jika tak kau jadikan, maka alasan
bahwa bukan dia orang yang paling tepat untukku menurut-Mu adalah alasan yang
tak mampu hamba tolak Wahai Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui”. Akhirnya,
perjalanan pulang dari petualangan bersama langit senja kala itu dimulai.
Bertabur bintang di langit malam yang gelap gulita, kususuri jalan menuju
kediaman kami. Dan kemabil, layaknya seorang teman yang memang tak ada apapun
di antara kami menjadikan malam begitu damai. Hanya sesekali jantungku berdbar
tak karuan kala suaranya menggema di gendang telingaku. Entah mengapa tiba-tiba
isna mengajakku berhenti sejenak untuk makan. Dan, baiklah, mungkin ia tengah
lapar setelah seharian beraktivitas dengan manusia tak jelas sepertiku.
Tak
ada kata sedikitpun darinya yang dapat terkenang, atau setidaknya kuingat
ketika kami makan di tempat itu. Malam semakin dingin dan layaknya seorang
pujangga kuletakkan jaketku di tubuh isna yang kedinginan. Perjalanan kami
lanjutkan tanpa sepatah kata pun dia ntara kami. Sesampai di tempat tujuan
kami, yaitu kediaman Isna aku merasa sedikit ahal aneh, benar saja tak ada kata
apapun darinya. Meski mesin kuda besi yang kali ini kami naiki telah mati,
tubuh Isna masih bersandar di pundakku tanpa sadar.
Lagi-lagi
kaca mata bulat berwarna hitamnya itu-lah yang membuatnya semakin manis saat
tertidur. “Isna,,,, kita udah sampai.” Lirih suaraku membangunkan Isna dari
tidurnya di bahuku. “Oh iya Ki, maaf. Hehe capek banget. Untung aja nggak
jatuh.” Sembari mengusap matanya yang baru saja terbuka, Isna turun dari
kendaraan dan meninggalkan bahuku yang sebenarnya tak terlalu nyaman untuk
digunakan sebagai tempat tidur.
“Yaudah,
tidurnya dilanjutin. Hehe, besok masih harus kuliah kan?”
“Besok
Minggu ki...”
“Waduh
iya, lupa aku. Yaudah selamat tidur ya Isna..”
***
No comments:
Write comments