Tidak semua
orang tahu tentang diriku. Dan setiap bagiannya. Banyak di antara orang yang
kukenal berpikir jika aku memiliki saudara entah adik atau pun kakak. Mungkin
karena terkadang aku memiliki sifat yang sok bijak atau juga terkadang
kekanak-kanakkan. Mungkin juga karena aku sering berkumpul dengan mereka,
orang-orang yang memiliki saudara kandung.
Dan sekarang,
aktor yang sesungguhnya adalah aku. Tiada yang lain. Kali ini hanya aku yang
akan menjadi pemeran utama cerita ini.
***
Sebuah senja
terdiam di kala matahari kian menjauh dan meninggalkan panasnya. Hembusan angin
yang masih begitu menyejukkan jiwa dapat dengan mudah dirasakan oleh setiap
jengkal kulit di tubuh ini. Ketika itu pula menghampiriku lah seorang dewi yang
mungkin tengah lupa akan caranya kembali ke langit.
“Permisi,....”
dengan senyum yang begitu sulit untuk kulupa, seorang gadis menawan menyapaku
yang tengah melamun di senja hari.
“Ya...” justru semakin
dalam lamunanku setelah nampak senyum indah sang dewi.
“Maaf, kamu
temannya orang ini?” sambil menunjukkan sebuah foto yang cukup membuatku iri
karena dia bisa dilirik oleh manusia secantik sang dewi.
“Iya, kenapa?”
“Boleh minta
nomor handphone-nya? Kalian satu kelas kan?”
“Yap, tepat.”
“Oke, catat
punyaku ya? nanti dikirim lewat sms aja.”
Kisah ini memang
dimulai ketika beberapa waktu ketika aku masih di bangku sekolah menengah.
Ketika seorang gadis menghampiriku untuk sedikit tujuan yang mungkin cukup tak
berarti.
Sambil berlalu
sang dewi meninggalkan senja bersamaku di sudut kecil jalan yang mulai lengang
ketika malam menjelang. Aku yang kala itu masih melamun akan masa lalu yang
entah kini ada di mana, tentang sebuah janji dariku padanya yang kucoba untuk
menepatinya. Yaitu, untuk tetap menjaga cinta yang pernah kuungkapkan
kepadanya. Ah, sudahlah. Tak perlu lebih panjang lagi. Ini bukan tentang itu.
***
Tak lama dari
senja itu, aku kembali bertemu dengan sang dewi bernama-kan Tia. Ya, ini memang
awal dari kisah persahabatan kami. Dia yang memang secara usia lebih muda
dariku, terkadang memiliki sikap yang sedikit kekanakkan.
Memang itu
merupakan pertemuan pertama kami, tapi berawal dari nomor handphone temanku
yang kukirimkan padanya aku menjadi semakin dekat dengan gadis berkacamata itu.
Tak jarang waktu setelah pulang sekolah kami habiskan bersama entah ke manapun.
Dan senyumnya yang akan sulit bagi siapapun melupakannya selalu menghiasi hari
kami.
Kini sudah cukup
waktu antara kami untuk saling mengenal, mungkin setiap yang melihat kami
berpikir kami adalah pasangan kekasih. Tapi tidak. Dari awal aku telah mengunci
hatiku. Bahwa aku tidak boleh dan tidak mungkin mencintai orang seperti dia.
Dia hanya akan menjadi sahabatku. Dan benar, sampai detik aku dan dia nyaris
setahun berkenalan tidak ada cinta antara kami. Bahkan dia juga tak pernah
membahas tentang cinta. Semua murni persahabatan yang tentu siapapun akan iri
melihatnya.
“Hey, kamu
ngelamun terus?! Ada apa Ga?”
“Aku Cuma
kebayang cerita lalu kok. Yang, gak penting tapi lucu kalau keinget. Heheh”
“Apaan tuh?
Boleh dong aku tau?” tanya Tia dengan senyum manis di wajahnya yang berhiaskan
kacamata.
“Waktu aku
kecil, aku punya seorang sepupu yang dia amat dekat denganku.”
“Kami sering
sekali menghabiskan waktu bermain bersama. Dia sedikit lebih tua dariku.”
Lanjutku.
“Bagus donk?
Kayaknya bakalan seru nih. Atau justru bikin ngantuk ya? hehehe”
“Kamu gak tau
akhirnya gimana. Yang jelas kami tumbuh sama-sama. Dan...”
“Dan kamu jatuh
cinta sama dia?”
“Eh, kok tau?”
“Ya aku kan
keturunan peramal Ga. Gak kayak kamu. Gak sepinter bapakmu.! hehehe”
“Hahaha, awas
saja ya. kalau besok aku bisa seperti bapak, kamu orang pertama yang bakal aku
kasih pamer.”
“Hehe, emang
gimana terusannya?”
“Ya.... kamu
benar. Aku cinta sama dia. Bahkan setiap ada yang mendekatinya selalu aku
pantau. Walaupun aku gak bisa ngapa-ngapain tapi aku tetap seneng bisa deket
sama dia terus. Sampai akhirnya yang jadi cowokknya adalah temen dekatku. Dan
wasalam. Hancur ya rasanya. Hehehe”
“Oh gitu.”
“Hih, cerita
sama orang kayak kamu itu kadang nyebelin juga ya?”
“Hehehe, terus?
Udah segitu aja?”
“Enggaklah. Ini
baru di awal. Lanjutannya adalah, dia nyuruh aku buat deketin cewek sekelas
yang selalu jadi kejaran kakak kelas.”
“Wow, berarti
kamu termasuk ganteng ya dulu? Sampai saudaramu rekomendasiin buat kamu ngejar
itu cewek?”
“Loh, bukannya
kamu juga kepincut sama kegantengan seorang Rega ini?”
“Enak aja. Kamu
gak level buat aku ya. hahah”
“Hahahah, yah
begitulah. Dan itu adalah perhatiannya yang terakhir sebelum pada akhirnya dia
pindah sekolah dan tempat tinggal. Setelah dia pindah, kami jarang brtemu. Dan
aku Cuma ngerasa seperti kucing yang kehilangan induknya. Gak ada yang jagain
lagi.”
“Em,,, pantes ya
kamu ngelamun?! Ditinggalin orang secantik itu sih. Hehehe”
“Dan parahnya,
beberapa saat setelah dia pindah, aku dapat kabar dia gak lanjutin sekolahnya.
Dia menikah dengan pacarnya semasa SMA. Memang, pacarnya sudah jadi pengusaha,
tapi sayangnya saudaraku itu sampai gak lulus SMA.”
“Wah wah wah,,,,
lumayan juga ya nyalinya? Hehe, usia segitu udah nikah.”
“Itulah kenapa aku
sekarang ngelamun. Aku gakmau orang yang berarti di hidupku mengalami hal yang
sama. Aku gakmau kamu sampai hilang seperti dia. Aku pengen jagain kamu terus
Ya. meski aku tahu seorang Tia tidak akan semudah itu terjatuh, tapi aku tetap
mengkhawatirkannya.”
“Ciye....”
“Buk!” sebuah
buku dilempar oleh Tia ke kepalaku. Dan segeralah ia lari menjauh.
“Woooo awas ya
kalau sampai kekejar! Haha”
Begitulah
sekerling kisah antara curahan hatiku pada Tia sang sahabat. Aku yang pernah
merasakan perhatian dari sepupuku yang tiada kudapatkan dari orang lain, kini
hadir lagi dari seorang Tia. Bahkan mungkin bisa lebih dari yang dulu pernah
aku dapatkan. Hanya saja, perasaan ingin untukku menjaganya itu tidak pernah
bisa tergantikan oleh apapun.
***
“Ga, mau gak
kita cobain naik itu?” tanya Tia sambil menunjuk sebuah wahana di pasar malam
yang sama sekali tak membuatku tertarik.
“Iya kak, ayo!
Jangan-jangan kak Rega gak berani naik itu ya?! heheheh” adik Tia memaksaku
untuk mengikuti kakaknya.
“Hehhe, aku di
sini aja. Aku gak suka naik begituan. Pasar malam aku hanya suka buat
jalan-jalan dan ngobrol sama temen.” Jawabku yang tahu kalau dompet yang kubawa
memang tipis layaknya silet.
“Yah, kakak
payah. Masa gakmau ikut?! Nanti gak ada yang jagain kak Tia kalo pas naik.”
“Heh? Apa
maksudnya?!” tanya Tia terheran-heran.
“Kan kak Rega
selalu jagain kakak. Aku aja nyaman kalo kakak lagi bareng kak Rega.” Jawab
adik Tia yang masih begitu lugu dengan pipi yang manis layaknya es cendol.
“Kan sekarang kak Tia naik sama adiknya yang
udah gedhe ini to? Nanti kak Rega nungguin kalian di bawah. Jadi kamu gak perlu
takut kak Tia kenapa-kenapa.” Jawabku pada anak manis yang terlihat begitu
menyayangi kakak perempuannya itu. Sementara Tia masih melamun mendengar ocehan
adiknya.
“Oke deh, tapi
awas ya kalau kak Rega sampai pergi?! Nanti bakal berurusan sama aku.”
“Siap ndan! Jaga
kak Tia ya pahlawan kecil.!”
“Ayo kak, buruan
beli tiket dan naik. Heheh, kasihan kalau kak Rega kelamaan nunggu.”
“Iya-iya,
hati-hati ini agak ramai. Nanti kamu jatuh loh.!” Kata Tia yang digandeng oleh
adiknya mengarah pada loket pembelian tiket.
***
“Hoek... hoek...
hoek...”
“Nah beneran kan
kak? Kak Rega sih gakmau ikut naik. Jadinya kak Tia muntah-muntah deh.”
“Hehehe, ini
tisunya.” Lagakku memberikan sebungkus tisu pada Tia yang begitu turun dari
wahana kurang jelas itu muntah-muntah.
“Ayo kak kita
jajan. Aku pengen burger. Em, dua ya kak? Buat adik juga di rumah.”
“Bentar dik, ini
kak Tia lag tepar gini kok kamu tega banget?” kataku.
“Yaudah, aku
minta uangnya aja ya?! tak beli sendiri. Biar kak Tia dijagain sama kak Rega
aja. Hehe”
“Ya udah, ini.
Hati-hati ya!” pesan Tia pada adiknya.
Begitulah malam
bertabur bintang di alun-alun balai kota yang masih terasa begitu dingin walau
dengan berbagai gemerlapnya pasar malam. Sepertinya ini juga bukan merupakan
malam yang baik bagi Tia yang mengeluarkan seluruh isi perutnya hanya karena
sebuah wahana tak jelas di pasar malam.
***
“Kak, makasih ya
udah mau jagain kak Tia selama aku jajan! Besok aku sewa kakak buat jadi
pengawal kak Tia kuliah ya? kalo udah lulus SMA jangan kabur ya kak?!”
“Kamu ini, apaan
sih? Berani bayar kak Rega berapa emang?” tanya Tia pada adiknya sambil
mencubit pipinya yang masih terlalu tebal untuk digelembungkan.
“Hahaha, ih satu
pahlawan kecil ini selalu berulah ya?!” sambil aku menggendong adik Tia yang
masih belum lebih dari 6 tahun itu.
“Loh, aku serius
loh kak. Aku gakmau kakak aku yang cantik ini kenapa-kenapa.”
Dengan kalimat
singkat dari anak kecil itu, aku hanya bisa terdiam. Mungkin ini adalah arti
dari persaudaraan sedarah yang selama ini tidak pernah aku rasakan. Aku yang
memang dilahirkan di dunia ini tanpa saudara sedarah, hanya bisa terdiam
melirik manusia lainnya bercengkrama dengan saudara mereka. Dan bahkan aku
hanya berpura-pura mengerti tentang ikatan mereka.
Aku yang dulu
berpikir kalau memili saudara hanya akan mengurangi kebebasan yang kita miliki,
kini perlahan mengerti tentang kakak dan adik yang saling menyayangi dan
menjaga. Tentang satu ikatan yang begitu kuat dan tiada bisa aku mengerti hnya
dengan sebatas akalku.
Tapi, kini aku
sedikit bersyukur. Hidup di antara Tia dan adik-adiknya membuatku merasa
memiliki saudara yang berikatkan darah begitu kuat. Bahkan, Tia yang selalu
menasehatiku tentang jalan yang akan kutempuh, membuatku sedikit merasa
memiliki kakak yang setuhnya.
“Iya-iya, kakak
janji bakal jagain kak Tia pas kuliah juga. Tapi kamu juga janji buat belajar
yang rajin ya.! biar pinter kayak kak Tia.?!”
“Oke, aku pegang
janji kak Rega.”
“Siipp..!!
sekarang waktunya kita puuuu....laanggg.”
“Woey-woey...
hahahah” teriak anak kecil yang menemani langkahku bersama tia di malam yang
penuh taburan bintang ini ketika aku mengangkatnya dan menaikkannya ke
pundakku.
Akhirnya malam
penuh bintang di langit dan bumi itu berakhir. Kami pulang menuju rumah
masing-masing dengan diawali mampi ke rumah Tia lebih dahulu untuk mengantarkan
jagoan kecil yang kelak akan memimpin bangsa yang penuh kesedihan ini.
No comments:
Write comments