Aku masih sama,
namaku Rega. Dan aku juga masih sendiri, tahu kan?? Atau lebih kerennya disebut
aku masih jomblo. Di sini aku masih berpetualan dalam hari-hari indahku dengan
sejuta pilu yang akan mengusik hidup kalian.
Dan masih sama
juga, aku tetap memiliki rating tertinggi alam urusan tempat curhat karena aku
bukan orang yang mudah sakit hati ketika mereka mengataiku, kususnya masalah
kejombloanku selama ini.
“Ga, pernah gak
loe ngerasain apa yang gue rasain ini??”
“Jelas enggak
lah, orang aku denger masalah kamu aja belom.”
“Hmm.....”
“Kenapa?”
“Gak jadi.”
“Yah, jangan
ngambek dong neng! Gitu aja ngambek. Emang kenapa lagi?” tanyaku pada teman yang
tidak kurang dari 17 tahun aku mengenalnya itu.
Plak!!!!
“Gue puas nabok
LOE Ga!!!”
“Gitu amat sih,
emang harus aku juga korbannya?” sambil mengelus pipiku yang baru aja ditabok
seorang makhluk luar angkasa bernama Ika.
“Apa sih salah
gue? Sampai orang tua gue gak mau peduli sama apa yang uge mau?! Apapun yang
gue lakuin selalu saja salah di mata Ibu Gue! Terus kapan gue bisa dewasa?!”
“Kamu udah
punya KTP kan?” tanyaku dengan sepenuh kepolosan senyum dan tetap dengan
mengelus pipi merahku.
“Maksud Loe?”
“Kalo udah
punya berarti loe udah dewasa.”
“Heeeehhhhhh,....
ngomong sama orang bodoh kayak loe itu ngesiln ya!!”
“Lupa ya? Aku
pernah dapet nilai 9,75 di matematika. Punya loe berapa ngatain aku bodoh?”
“#*____-#@&”
“Kenapa diem?
Bagusan punya aku kan? Kalo gitu siapa yang bodoh?”
“Capek.”
“Sini bu, aku
pijitin. Haha, ada masalah apa lagi sih sama ibu kamu?”
“Hehhhh,,, udah
sadar belum? Kalau belom aku gakmau cerita apapun.”
“Hahaha, udah
kok. Tenang, udah waras seutuhnya.”
“Tadi malam,
selepas gue mandi, ketika gue baca al kitab yang baru aja dikasih sama Frather
(calon pastur) kepadaku, tiba-tiba ibu mengambilnya dan memintaku untuk belajar
dengan kata-kata yang begitu kasar. Padahal, aku baru saja ingin membuka dan
mendalami apa yang ada di dalamnya.” Papar gadis berambut sebahu dengan mata
menawan yang duduk di sampingku dekat taman kampus tercinta.
“Dia, Ibuku,
tidak suka aku membaca tentang Al Kitab agamaku. Entah kenapa.” Lanjut Ika
padaku di sore yang menjelang senja dengan menampilkan warna langit merah itu.
“Apa aku boleh
berbicara tentang seseorang?” tanyaku padanya.
“Siapa?” dengan
wajah yang mulai menegang bagai orang yang mau pergi ke medan perang.
“Almarhum......
Ayahmu.”
“Oh, kenapa?”
“Tapi aku minta
satu hal, dengarkan dengan baik dan jangan menangis. Atau kau akan biarkan
tangan kasarku ini mengusap air matamu yang berlinang.”
“Tentu. Tak
apa. Ceritakanlah.” Jawab Ika, seorang yang telah ditinggalkan oleh ayah yang
sangat dekat dengannya 1 tahun yang lalu.
“Dulu, ketika
aku bertemu dengan ayahmu beliau bercerita amat banyak. Mungkin hal yang tak
pernah diceritakannya pada orang lain. Entah alasannya apa. Tapi beliau
menceritakan panjang lebar tentang masa kecilmu.”
“Ketika kamu
berusia 5 tahun, ayahmu menitipkanmu kepada seorang yang tinggal di samping
rumahmu. Dia adalah seorang Hafiz Al Qur’an yang telah berpetualang dalam
menyebarkan agama Islam. Dahulu ayahmu berharap kau bisa menjadi seorang Hafiz.
Dan ketika kau pergi bersamanya ayahmu selalu merasa tenang. Karena tahu putri
kesayangannya itu berada di tangan yang tepat. 5 tahun telah berlalu, ayahmu tak
pernah meragukan apa yang telah diajarkan orang itu pada anaknya. Dan baru
sadar ketika usiamu beranjak 11 tahun, ternyata orang tersebut telah lama
meninggalkan Islam dan berpaling ke agama yang kamu pegang teguh hingga
sekarang. Bahkan, ibumu kecewa dengan ayahmu. Dan pada akhirnya bersegeralah
beliau mengambilmu dari tangan orang itu.”
“Dia selalu
mencoba dekat denganmu semenjak saat itu. Pekerjaan yang selama itu membuatnya
jauh darimu, perlahan beliau tinggalkan. Ayahmu berusaha sekeras mungkin untuk
tetap bisa berada di sisimu, ketika kamu merasa sedih, ketika kamu merasa
sendiri, dan ketika kamu menangis. Semua itu beliau lakukan semata hanya agar
kamu bisa kembali bersamanya dalam satu ikatan keyakinan yang kuat, dan ibumu juga
bisa memaafkan beliau.”
“Ayahmu, dan
ibumu adalah orang yang amat kuat dalam menjaga keyakinan atas agama. Tapi
Tuhan berkehendak untuk menguji mereka dengan memalingkanmu dari keyakinan yang
mereka pegang teguh.”
“Ayahmu, beliau
merasa lemah karena perasaan bersalahnya yang menitipkanmu pada seorang yang
dianggapnya akan mengajakmu mendekat kepada agama yang dianutnya. Tapi justru
membawamu pergi jauh meninggalkan harapan yang telah lama diimpikan menjadi
nyata. Lalu ibumu, dengan kemarahannya yang teramat mendalam beliau mencoba
mengingatkanmu untuk kembali pada keyakinan yang selama ini dipegangnya dengan
caranya yang seperti saat ini.” Paparku pada Ika yang nampak terdiam saat aku
menceritakan panjang lebar apa yang pernah ayahnya katakan padaku.
“Beliau,
melanjutkan ceritanya. Beliau tak mampu berlaku keras terhadapmu seperti ibumu.
Kamu adalah anak yang amat disayanginya, ya mungkin walaupun keyakinan kalian
berbeda, tapi darahnya tetap mengalir dalam ragamu. Sebuah ikatan yang tidak
mungkin bisa dihapuskan.”
“Apalagi ayahmu
adalah seorang yang taat beragama. Ia ingin sekali anaknya mendapatkan nikmat
sang pencipta seperti yang beliau dapatkan. Dalam Islam kita diajarkan untuk
mendoakan sesama muslim di dunia. Dan doa itu selalu dipanjatkan secara berkala
oleh seluruh umat muslim di dunia ini. Selain itu, doa bagi sesama muslim akan
selalu menembus langit bahkan sampai setelah nyawa dan raga berpisah. Tapi,
tidak bagi pemeluk agama lain. Doa bagi pemeluk agama lain akan berhenti
menembus langit ketika yang didoakan telah wafat. Ayahmu ingin engkau dapat
mendoakannya, dan engkau juga memperoleh doa dari seluruh umat muslim di
seluruh dunia ini.” Tegasku atas alasan ayah Ika yang selalu mencoba dekat
dengannya.
Masih sama,
keadaan tetap hening seperti ketika aku berkata untuk menceritakan tentang
almarhum ayah Ika yang meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Aku memang bukan
malaikat yang bisa membangkitkannya, tapi aku akan berusaha untuk menjaga
temanku tetap tersenyum. Walau aku harus membuatnya menangis lebih dahulu. Hehehe
“Hey... dari
tadi kau diam saja? Apa kau mulai...”
“Gak kok. Tenang
aja, gue cuma lagi pengen diem dengerin cerita loe.”
“Jadi, jangan
pernah berfikir ibumu itu jahat. Ia hanya ingin kamu kembali bersamanya, pada
keyakinan yang ia peluk sejak kamu lahir sampai ada ujian dari tuhan untuk
memalingkanmu pada keyakinan lain. Bagiku, semua agama, semua keyakinan itu
baik. Tapi bagi almarhum ayahmu, beliau ingin keluarga yang dicintainya itu
dapat berkumpul kembali di surga-Nya kelak. Beliau berharap kamu mau kembali
pada keyakinan yang sama dengan apa yang beliau peluk. Aku bukan seorang ahli
fikih ataupun pastur, aku hanya temanmu yang mengenalmu sejak kecil dan secara
tidak sengaja mendengar ceritamu dari almarhum ayahmu. Hanya itu yang dapat
kukatakan....”
Demikian pungkas
kalimat ceritaku yang aku sadari, bukan kalimat yang baik. Aku juga sadar aku
bukanlah seorang syeikh ataupun kyai. Tapi itulah kenyataan bahwa umat muslim selalu
saling mendoakan. Aku juga tidak mau ikut campur dengan agama orang lain, ini
hanya tentang Ika yang diharapkan oleh almarhum ayahnya bisa berkumpul
bersamanya di surga kelak.
Waktu semakin
gelap, kumandang adzan maghrib juga telah terdengar.
“Waktunya kita
tinggalkan tempat ini Ka. Kita harus pulang, nanti kamu dicari ibumu.” Ajakku lirih
pada ika yang masih sedikit melamun atas ceritaku di dekat taman kampus
tercinta itu.
“Iya....” jawab
Ika pelan dengan masih setengah melamun sambil mengemasi barang bawaannya.
***
Tiga hari telah
berlalu, entah kenapa aku jadi jarang bertemu dengan Ika sejak saat itu. Dan,
benar. Kali ini aku menemui seorang gadis nampak begitu manis dengan kerudung
warna merah mudanya berpadu dengan gaun lembut yang nampak memanjakan mata.
Ika, benar. Dia kini beralih menjadi seorang muslim dan berjalan ke arahku.
“Ga, makasih
ya... berkat kamu aku jadi tahu alasan ibuku mengambil Al Kitab dan menyuruhku
belajar malam itu. Aku juga telah bilang kepada frater kalau aku mau menjadi
muallaf (orang yang baru masuk islam). Dan beliau tidak keberatan jika memang
itu yang aku inginkan serta mampu membuatku tenang.
***
-The End-
No comments:
Write comments