Friday, December 21, 2018

Sang Pengganti (Pengantar 1)

 

Rasa itu hadir, menusuk qalbu dan membawaku terbang tinggi. Ke awan, terus melambung jauh di angkasa. Aku berpikir ini yang mereka sebut cinta. Kurasakan tepat tiga tahun yang lalu. Hanya berawal jabat tangan dan senyum manja. Tak ada yang tahu, hanya aku dan Tuhanku. Dan kini semakin menjadi, setelah ia pergi. Yang dua lusin bulan terus bercerita tentang hidupnya padaku. Sirna, entah dengan siapa. Lalu kamu, masih seperti dulu. Nampak begitu merona, bercahaya, dan selalu memalingkan wajahku dari indah dunia lainnya. Meski doaku telah berubah, engkau secara halus tetap di dalamnya.

Hati ini tak paham lagi. Ia gila, dan tak rasional. Apapun itu, membuatku semakin menjadi. Apa yang ku punya, seolah hanya untukmu seorang. Bahkan, nafas dan ubanku pun ingin ku titipkan padamu jika mampu menambah senyum di bibirmu, walau sedikit.

"Tun, ini sudah malam. Apa kau tak mau masuk?"
"Tidak Ti. Sebentar."
"Baik, nanti dikunci ya pintunya. Uti tidur duluan."
"Iya Ti, selamat malam."

Malam kala kudengar cerita itu, begitu gelap. Sunyi dan membisu. Purnama memang bersinar, tapi angin bergerak begitu lambat. Perlahan menyeringai dedaunan yang kehitaman pertanda tak terjamah cahaya. Desir hati ini pun merobek kesunyian. Bergetar, meledak bak ratusan petasan menyala di malam tahun baru. Aku rindu.

"Entah. Kali ini baru kurasa pertama."
"Apa ini? Rindu begitu mendalam. Kenapa bisa?"
"Dan, kenapa harus padanya? Yang nyaris pasti tak mungkin kumiliki lagi."

Gumamku pada tembok di sisi kanan kiri ku. Tak ada seorangpun di sana.

****

Waktu terus berlalu. Bergulir tak peduli aku yang sendiri. Rindu juga sama. Menyerang, merasuk dalam hati dan jiwaku. Membuat semua yang nyata seolah membisu.

"Saya perhatikan dari jauh, Anda melamun, Mbak?"
"Ini, kopi untuk menghangatkan Mbak."
"Terimakasih mas."
"Sedang menunggu seseorang, Mbak?"
"Hm.. tidak kok mas."
"Langitnya, cerah ya.? Saya suka sekali cuaca malam ini."
"Benar. Pas sekali. Oh iya, Mas namanya siapa?"
"Ali."
"Saya Atun, Mas." Sembari menjabat tangan memecah keheningan malam yang dingin dan membekukan hati.
"Boleh, saya duduk, Mbak?"
"Kenapa tidak?"
"Mbak Sendiri saja datang ke sini?" Sembari merebahkan tubuh di Alun-alun, lalu kumulai basa-basi ku.

Tak jelas memang bahasan kami. Tapi, cukup untuk menghabiskan malam dan tak terasa sudah larut.

"Saya pulang dulu mas. Kalau luang, bisa kita jumpa lagi." Pamitnya sembari meninggalkan kertas kecil bertulis akun sosial medianya.
"Oke Mbak, nggak perlu saya antar kan?!"
"Tidak Mas."

***

Minggu telah berganti. Kunjungan kerja di ibu kota pun usai. Selanjutnya, Kota Kembang Bandung adalah alasan aku kembali berapi-api. Lembang lebih tepatnya.

"Hei!" Terdengar sorak Sorai dari kejauhan seperti memanggilku.
Dan benar, aku yg tengah bercengkrama dengan rekan kerjaku menoleh ke arah datangnya suara itu.
"Atun? Ngapain di Lembang?" Tanyaku.
"Loh? Oh iya, sudah kesana kemari ngobrol tapi belum bilang kalau aku tinggal di Bandung ya."
"Hah? Maksudnya tinggal di Bandung?" Konfirmasi ku.
"Iya Al. Aku orang Lembang, Bandung. Di Jakarta, aku hanya mampir."
"Oh, sini join!"

Kali ini bukan alun-alun yang menjadi latar. Melainkan warung kopi pinggir gedung Asia-Afrika yang menjadi latar jumpaku dengan Atun. Lalu, setelah berkenalan dengan rekan kerjaku, kami bercengkrama. Renyah. Santai, dan hidup. Hingga di ujung bahasan, Aldo, rekan kerjaku pamit kembali ke hotel untuk istirahat. Wajar saja, tiga hari lalu Aldo baru selesai bertugas di Bintan dan kembali ke Jakarta. Sayangnya, karena sedang padat, ia juga dikirim untuk tugas ke Bandung bersamaku.

"Sudah selesai kerjaanmu Al?"
"Belum, ada sedikit problem sih sama klien. Jadi ditunda dulu untuk action nya. Mungkin lusa baru jalan lagi kalau Deal."
"Em, berarti hari ini luang donk?"
"Iya sih, ada apa Tun?"
"Temenin jalan, mau? Aku tunjukin ke kamu tempat yang pas buat beresin stres di Lembang."
"Oke,"


No comments:
Write comments

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !