“Hey,,, Apa kabar?”
“Lama tak jumpa.”
Katamu menyapaku
yang tengah duduk menghadap kea rah barat. Tepat di mana matahari berpamitan,
tanda malam segera datang.
Aku pun tak
menyadari kedatanganmu kala itu. Entah, sudah berapa lama kau melihatku terus
menerus dari kejauhan. Memastikan jika orang yang duduk di atas bebatuan Candi
Ratu Boko adalah aku. Hingga akhirnya, kau menyapaku dari belakang.
“Hem… Baik. Kau sendiri?”
Tanyaku kembali
padamu sembari menatap bias cahaya senja di matamu.
“Oh, tidak. Aku dengan
putra laki-lakiku. Itu. Dia sedang berlarian.”
Jawabmu sembari
menunjuk anak laki-laki yang tengah berlarian di atas rumput hijau halaman Ratu
Boko. Beberapa meter dari batu tempatku
duduk. Dan satu lagi. Kau masih tak nyambung. Maksudku, yang kutanya kabarmu. Bukan
kau sendiri atau dengan siapa datang ke tempat ini.
“Namanya Husein.
Muhammad Faizal Husein. Kau masih ingat nama itu kan? Nama yang dulu kita
siapkan.” Lanjutmu.
“Sebenarnya,
bukan itu maksudku. Tapi, tak apa. Nama yang indah untuk anak laki-lakimu.”
“Hah? Oh, aku
paham. Iya. Kabarku baik Sa. Selalu demikian.” Akhirnya kau paham tanyaku tanpa
aku harus mengulanginya.
Hening sejenak. Udara
seolah berhenti, dan menghentikan waktu. Lima tahun sejak pertemuan terakhir
kami, dan di tempat ini pula kami dipertemukan kembali.
“Kau sendiri,
masih senang dengan senja di tempat ini, Sa?”
“Begitulah. Sedari
dulu ini adalah tempat paling nyaman untuk menghabiskan sore hari bukan?” jawabku
retoris.
“Benar sekali. Oh
iya, sebentar, jangan pergi dulu Sa.”
Tetiba kau
berbalik dariku dan aku hanya memandangi punggungmu yang kian menjauh. Sambil
terheran-heran apa yang akan kau lakukan. Tapi tak terlalu penasaran.
“Bukankah
cerita kami telah lama mati?” tanya logikaku mencoba menenangkan hati yang kembali
bergemuruh.
Benar. Dia adalah
laki-laki itu. Faizal Ramadhan. Laki-laki yang lima tahun lalu berpamitan
denganku di tempat ini. Sambil ditonton eloknya warna senja yang perlahan
memudar, ia berkata untuk pergi dariku. Entah alasan konyol macam apa yang
membuatnya memilih pergi dan meninggalkanku dalam keterpurukan. Dan bagiku, ketika
laki-laki memilih pergi maka aku tak perlu tahu alasannya. Itu tandanya dia
memang tak lagi berkomitmen apapun denganku. Tanpa komitmen, dan tiada lagi
rasa sayang.
Cukup bagiku
kata pamit dan kuiyakan. Karena rasa dalam hati manusia laksana pasir dalam
genggaman. Sekali kau ambil, perlahan ia runtuh juga. Bahkan, semakin erat kau
pegang semakin sulit pula dipertahankan.
“Yang jual sudah
ganti anaknya. Katanya ibuknya meninggal karena sakit setahun yang lalu. Semoga
rasanya masih tetap enak, Sa. Ini satu untukmu. Aku hanya membeli dua karena
Husein tak pernah suka dengan Dawet Ayu.” Katamu yang tiba-tiba saja sudah
menawarkan segelas Dawet Ayu padaku.
“Terimakasih.” Singkat
jawabku.
“Ngomong-ngomong,
apa kau masih sering sholat malam? Dan apakah masih ada namaku di setiap doamu
walau hanya dalam kata hati, Sa?”
“Setan apa yang
merasukimu wahai Faizal Ramadhan.? Menanyakan perkara seprti itu padaku setelah
lima tahun berlalu. Setelah seenaknya saja kau pergi tanpa memberiku alasan apapun.
Bahkan, setelah kau punya satu orang buah hati yang manis di sana. Setelah kau
meminang seorang wanita sebagai istri, dan kau masih menanyakan hal aneh
seperti itu padaku. Di mana akal sehatmu Faizal Ramadhan? Apa yang dirasakan
oleh istrimu jika mendengarnya?!”
Dalam hati. Hanya
dalam hati. Kalimatku rasanya tertahan di kerongkongan dan tak sampai ke lidah
untuk kuucapkan. Dan hanya dalam hati aku bergumam demikian mendengar
pertanyaanmu.
Dan waktu kembali
hening. Menyisakan udara yang mengisi ruang hampa dan es batu pada gelasku yang
terus menguap.
“Apakah kau
masih meminta aku menjadi teman hidupmu, Sa? Seperti bertahun-tahun lalu saat
kita masih Bersama?” tanyamu lagi.
“Kau benar-benar
gila, Faizal Ramadhan. Mana mungkin aku masih mendoakanmu.!” Kali ini akal
sehatku mencoba mengambil alih gemuruh di hatiku. Walau, masih tetap tertahan
di kerongkongan.
“JIka iya, aku
mohon hentikan. Hentikan doa-doamu yang menyebut namaku agar menjadi teman
hidupmu. Aku mohon hentikan doa-doa itu di setiap akhir tahajjudmu Ika Nafisa.”
Pintamu dengan
intonasi tegas. Sembari mengarahkan matamu yang membiaskan cahaya senja it uke arahku.
Tepat ke raut wajahku yang diwarnai tatapan kosong.
“Sa, mungkin ini
bukan hal penting dan tak seharusnya kukatakan padamu.”
“Benar. Tak seharusnya
kau mengatakan apapun sore ini Faizal Ramadhan. Tak seharusnya kau coba
membangkitkan apa yang telah mati di hatiku.” Gerutuku lagi di dalam hati.
“Sa, sepuluh bulan
yang lalu. Pas di tanggal ini aku duduk menangis di sudut ruangan sebuah rumah
sakit.”
“Aku duduk lemas
melihat tubuh bidadariku yang terbujur kaku. Melihat orang yang selama ini
kuperjuangkan sepenuhnya demi menutup kenanganku bersamamu telah meninggal.”
“Empat tahun dia
dengan sabar meladeni semua kebutuhan hidupku hingga akhirnya membuatku jatuh
cinta, Sa.”
“Hatiku mati
rasanya Sa. Baru hitungan bulan aku bisa menutup kenangan kita dengan hadirnya
dia, kemudian Tuhan begitu saja mengambilnya dariku.”
“Dan kini, tinggalah
aku dan Husein di dunia ini. Tak punya siapapun lagi, Sa.”
“Maka, aku mohon
padamu hentikan doa-doamu yang menyebut namaku di setiap Tahajjudmu Sa. Tuhan benar-benar
tak pernah tidur. Dan aku sungguh tak ingin kembali padamu. Aku tak ingin
menyakitimu kedua kalinya. Dengan segala omong kosongku soal cinta. Dengan segala
sikap egoisku padamu yang seperti dulu. Aku tak ingin mengulanginya, Sa.”
Gemuruh di
hatiku rasanya semakin menjadi-jadi mendengar perkataanmu, Faizal Ramadhan.aku
tak menyangka, sesayang itu Tuhan pada hambanya yang terus memanjatkan doa.
Sungguh, hatiku
rasanya semakin bergetar. Mendengar semua perkataanmu membuatku hatiku seolah mampu
merasakan kesakitan yang pernah kau rasakan. Bahkan, rasanya angin di sekitar
tak lagi berhenti. Ia seolah berjalan ke sana ke mari sambil bergemuruh. Seolah
mengiringi air matamu yang tanpa sadar terjatuh.
“Ayah, ayah gak
papa? Kok ayah menangis? Apa tante ini nakal?”
Mungkin seperti
itu yang dikatakan anak laki-laki yang tiba-tiba lari ke arah kami. Ya, itu
adalah anak laki-laki yang tadi kau tunjukkan padaku. Dialah Muhamman Faizal
Husein. Anak semata wayangmu.
“Gak papa kok
ganteng. Ayah sama tante tadi sedang bermain lempar rumput. Nggak sengaja
debunya kena mata ayah. Sini tante coba gendong kamu.”
Akhirnya aku
membuka mulutku. Mulut yang sedari tadi terdiam dan tak percaya atas yang
terjadi di depanku.
Dan justru,
bukan tanggapan atas apa yang disampaikan oleh Faizal.
“Nama kamu
Husein kan? Nama yang bagus untuk jagoan kecil ayah Faizal. Ayo, tante kenalkan
dengan Indah. Anak tante Ika.” Ucapku sembari membawa Husein menjauh dari
ayahnya yang sedang terisak.
Yah, tentu aku
tahu rasanya. Rasa kehilangan separuh jiwanya. Karena aku pernah merasakan hal
itu lebih dari sekali. Pertama, saat Faizal pamit. Kedua, enam bulan lalu ketika
ayah Indah juga berpulang.
No comments:
Write comments