Langit malam kini menyelimuti lagi,
setelah kemarin aku merasakan hebatnya menjadi pahlawan yang hampir saja
menjadi idola seluruh wanita, kini akhirnya aku harus kembali sebagai Rega yang
tak mampu bertahan walau hanya dari terpaan agin kenangan masa lalu.
“Hffftttthhhh....” kembali kuhembuskan
nada pelan damai dari dua lubang karunia-Nya yang tak pernah kudapatkan dari
siapapun selain Dia.
Masih sama, di tempat yang sama dan tak
mungkin tergantikan oleh yang lainnya pula. Aku, dan bersama dia, Tia. Sang
sahabat karib nan cantik jelita yang nampak selalu lebih manis ketika di malam
hari dengan kaca mata mungilnya.
“Hey, pemuja langit! Tak adakah syair
untukku lagi? Atau kau kini berubah setelah kulempar dengan sepatuku?” tanya
Tia saat aku masih mengagumi langit malam dengan berhiaskan bintang dan sinar
cahaya kartika.
“Ayolah, maafkanlah sahabatmu ini.
Apakah perlu aku menciummu sebagai ganti atas mimpi indahmu lalu yang kurusak?”
tanya Tia dengan gaya manja seorang gadis layaknya merayu pria yang amat ia
sayangi.
“Tidakkah kau pahami, langit begitu
luas. Melindungi bumi yang di dalamnya mengandung begitu banyak dosa. Begitu
banyak angan, kenangan dan mimpi yang tiada bisa jika harus menjadi nyata
semuanya.” lirih suaraku mulai mengalunkan nada-nada penghias malam yang sunyi
dan hanya ditemani segelas susu hangat.
“Ya, dan pernahkah kau melihat? Jikalau
ada insan di dalamnya yang mengagumi indahnya senja, dan ada juga yang selalu gila
ketika malam tiba?” sahut Tia dengan senyumnya yang mendamaikan hati sembari
menatap wajahku yang tiada senyum tanpanya.
“Tidak akan pernah ada kenangan yang
bisa untuk terhapus waktu. Biarkan mimpi menjadi mimpi, asal engkau tetap
bersamaku. Tetap ada di sisiku saat aku membutuhkan teman yang sejati. Yang
mampu membuatku mampu menghibur sahabat kecilku di dunia ini.”
Sahut menyahut syair antara kami terus
berulang. Aku yang hanya terduduk di pinggir jalan depan rumahku bersama Tia
dengan ditemani susu hangat sajian ibu tercintaku seolah mampu hilangkan
dinginnya angin malam.
“Sudahlah, kau akan lelah jika hanya
membuat syair di malam ini. Cobalah kau lihat bintang di sana. Dia bersinar
untukmu. Untuk menghiburmu dari lelah hari ini.” kata Tia yang menyandarkan
kepalnya di pundakku.
“Jadilah kau sepertinya. Berhentilah kau
ganggu masa lalumu yang membosankan itu. Ia tak akan kembali padamu.
Bersinarlah untuk orang-orang yang masih ingin bersamamu.” lanjutnya dengan
aroma harum parfum khas miliknya.
“Hhhhfftttt.....” lagi, hanya hembus
nafas pelan dariku menanggapi kalimatnya yang mencoba menenangkanku.
Memang, setelah kekasihku itu pergi
entah ke mana, hanya Tia yang mencoba menghiburku di antara semua temanku.
Bahkan langit pun akan mengerti betapa kerasnya ia mencoba membangunkanku dari
mimpi gelap yang tiada berujung itu.
26 Desember 2014. Orang yang amat aku
cinta pergi dari lubuk hatiku. Tanpa pamit, hanya meninggalkan untaian luka
yang hingga kini belum terhapuskan.
“Kelak, aku akan mendengarmu. Akan kuhentikan
syair ini, saat aku telah lelah. Saat di mana kenangan itu tiada berarti lagi
bagiku.” kataku dengan masih menatap kegelapan yang jauh di sana.
“Dengar, bulan dan bintang tak akan
meninggalkanmu. Walau siang datang, mereka tetap ada. Hanya kau saja yang tak
dapat melihatnya. Itulah hidupmu. Aku, ayah, ibu, dan teman-temanmu tak
sepenuhnya pergi darimu. Ka hanya tak melihatnya saja. Dia pergi, bukan berarti
kau tak bisa lanjutkan waktumu.” bisiknya yang masih bersandar pada bahu
lemahku.
“Aku masih ingat. Terakhir dia berkata
untuk tidak tinggalkanku. Saat aku mencba untuk mempercayainya atas kata-kata
yang sebelumnya tak pernah kupercaya. Yakinlah, itu satu salahku di masa yang
lalu.”
“Paling tidak, di sini ada aku yang akan
selalu bersamamu. Jika itu yang kau lihat. Karena kuyakin kau takkan pernah
melihat mereka, kedua orang tuamu yang selalu mengharapkanmu.” lirih, masih
amat lirih Tia berbicara kepadaku memecah kesunyian.
“Diamlah,! Kini aku bersama sahabatku.
Diamlah wahai masa lalu yang tiada pernah akan kulupakan. Ini bukan berarti aku
tak bisa meninggalkanmu. Kini aku punya kekuatan, aku punya sahabat yang tak
akan pernah berhenti membakar semangatku.” kataku pada langit malam sambil berdiri
membiarkan bahuku yang menjadi tempat sandaran itu terangkat menuju langit.
“Dengar, nafasku akan selalu bersamamu.
Jarak boleh menjauhkanku darimu, tapi ikatan ini tak akan pernah kulupa. Ikatan
ini tak akan pernah terputus. Yakinkan hatimu Ga.” Halus pintanya saat ia turut
berdiri dan memeluk hangat tubuhku dari balik tulang punggungku.
***
Sektika detik seolah berjalan amat
cepat. Malam kini telah larut. Angin pedesaan akhirnya kembali berhembus
menambah dinginnya malam. Jam dinding pun mulai berdentang pertanda tengah
malam tiba.
“Tia,?” tanyaku perlahan kepada gadis
cantik setinggi bahuku yang tengah memelukku.
“Ya?” jawabnya dengan suara merdu yang
akan takkan pernah kulupa.
“Ini sudah malam. Tidakkah kau ingin
pulang?”
“Ehm, maaf. Malam ini langit nampak
begitu indah.” Sambil melepaskan peluk tangannya dari tubuhku tia kembali
terduduk.
“Ini sudah malam, tidakkah kau ingin
pulang?” tanyaku pada Tia yang nampak sedikit berbeda malam ini.
“Iya, minta dianter boleh Pak?!”
jawabnya sambil melihatku yang masih berdiri di sampingya yang terduduk di depan
rumahku.
“Oh ayolah ibuk-ibuk. Manjanya itu
dihilangin.!”
“Hehehe, tega kau membiarkan gadis manis
ini pulang sendirian menerpa kegelapan?” rayu Tia kepadaku yang sok tak mau
mengantarnya pulang.
“Yasudah, ayo.” Tia menatapku yang
berlalu menjauh darinya untuk mengambil kendaraan kami.
***
“Ini, cepat naik! Gak baik cewek
secantik kamu jalan malam-malam.!” perintahku sambil membawa sepeda kepadanya
yang masih terduduk.
“Halah Pak, ini ada yang tidak beres.!!”
Tia menunjukkan ban sepedanya yang kempes.
“Ah, kau itu. Kemana aja pasti
ngrepotin. Hehe”
“Jangan gitulah, katanya sahabat???”
“Yaudah, sini aku boncengin.”
Akhirnya aku mengantarnya pulang dengan
sepedaku yang putih berkilau bagaikan piring habis dicuci dengan sunlight.
Lagi, tangannya kembali memelukku di
sepeda itu. Entah kenapa aku masih tak mengerti.
“Buk, kau kenapa?” tanyaku padanya
sambil mengayuh sepeda kesayanganku.
“Memangnya ada apa?”
“Itu lho, tangannya.”
“Hehehehe, dingin aja.”
“Oh, kirain kenapa. Lain kali bawa jaket
ya. Biar kamu gak sakit.”
“Sok perhatian deh loe!” dengan gayanya
yang agak tomboi kalimat keras ia ucapkan kepadaku.
Masih kukayuh sepedaku sampai akhirnya Tia
masuk ke dalam gerbang rumahnya yang megah bagaikan istana Ratu di Kahyangan
pada sinetron Mahabarata.
“See you.....”
“Titikdua bintang aja. Hehehe” sahutku
dambil tersenyum melepas gadis cantik itu ke dalam rumahnya.
“Woooooo..... hehehe” senyum kecil
mengiringinya meninggalkanku yang masih di depan gerbang rumahnya.
Kini kukayuh lagi sepedaku menuju rumah
tercinta. Entah ada apa aku masih bingung dengan Tia malam ini. Ia nampak
berbeda.
***
“Andai kau tahu aku tak ingin
kehilanganmu, walau sejenak, sedetik, atau bahkan tak melihatmu walau sedenyut
nadi pun aku tak mau.”
“Entah kenapa, tapi aku tak ingin kau pergi
dari sisi diri ini. Aku ingin selalu bersamamu.”
Kembali untaian kata Tia menemani
sejuknya angin sore di pinggir laut beriring gelombang menerjang kaki-kaki
kecil kami. Di kala langit senja yang memerah, aku bersamanya duduk berlawanan
arah di sela antara air dan daratan.
“Aku pun demikian. Seolah tak ingin
biarkan saat ini berlalu begitu cepat. Berlalu tanpa ada kenangan yang dapat
untuk terulang.”
Sepasang sahabat yang begitu mesra duduk
di pinggir pantai didera ombak-ombak kecil. Mungkin seperti sepasang kekasih
jika orang melihat kami. Tapi bukan, kami hanya teman. Yang saling berbagi
syair dan selalu bersama.
Masih duduk berlawanan arah, aku dan Tia
menatap langit senja yang nampak selalu indah dilihat siapapun. “Aku tak mau
kehilangan kamu lagi Ga! Dulu kamu sempat benar-benar jauh dariku. Kita seperti
tak saling mengenal saat kamu bersama Intan. Kau bukan Rega yang kukenal saat
itu.”
“Hey, kau kenapa? Akhirnya dia hanya
orang yang lewat dalam hidupku bukan? Kamu yang dulu bilang seperti itu. Bakan
kini juga kamu yang membantuku untuk bangun dari mimpi itu.” Jawabku padanya
yang seperti menahan kegelisahan itu.
“Kemarin malam, aku merasakan bahwa kamu
sudah kembali. Kita bisa bersama, bercerita di bawah langit malam yang sejak
dulu kau kagumi. Aku merindukanmu sebagai Rega yang seperti itu.”
“Lama, sepertinya sangat lama aku tak
merasakan kamu sebagai Rega yang dulu selalu mengusap air mataku saat aku
menangis.”
“Ya, mungkin memang sudah lama kita
jauh. Aku terlalu sibuk dengan Intan. Maaf, kini aku seperti tak tau diri
dengan kembali bercerita tentang masalahku kepadamu.” Kataku padanya.
“Tak apa. Jika kau selalu memuja langit,
biarkan aku menjadi langitnya. Aku yang selalu kau puja di saat apapun itu. Aku
hanya ingin kau tahu, aku tak bisa jauh dari kamu.”
“Seandainya kelak Tuhan memberikan
pilihan kepadaku, tentang siapa yang ingin kujadikan sebagai teman hidupku, kau
pasti tahu jawabanya Ga.” Lanjut Tia tepat di saat matahari tenggelam ditelan
samudera.
“Lalu, apa yang harus kukatakan? Aku tak
mengerti kamu. Aku tak bisa memahamimu belakangan ini.”
“Kau jalani saja hidupmu. Biarkan Tuhan
yang mengatur semuanya. Aku hanya manusia yang mengharapkan bisa selalu
bersamamu.” jawab Tia.
Entahlah, apa yang ada dalam pikiran Tia
saat ini aku belum bisa memahaminya. Kami adalah sahabat, hanya itu yang aku
tahu.
***
Pagi kini hadir kembali, tak jauh
berbeda dengan rutinan biasa, aku bangun lalu mandi dan bersiap untuk pergi
kuliah. Seperti biasa pula aku menghampiri rumah Tia yang sejalur dengan
kampusku. Namun, hari ini nampak berbeda. Tia yang biasanya telah berada di
gerbang depan rumahnya, kini tidak ada. Rumahnya nampak sepi ketika aku
melewatinya.
“Tuuutt.... tuuutt....”
“Ya Ga, ada apa?”
“Tumben udah sepi?” tanyaku.
“Oh iya, tadi aku dijemput sama Dika.”
“Oke, berarti aku berangkat sendiri aja.
Hehe” jawabku sambil menutup telepon.
***
“Tuuuttt..... tuuutt....”
“Ke mana ini orang? Ditelepon dari tadi
gak diangkat juga. Tidur apa pingsan ni orang? Atau jangan-jangan dia mati
lagi. Perasaan kemarin sehat-sehat aja.” gerutuku ketika teleponku tak kunjung
diangkat oleh Tia.
Sudah 7 hari, seperti memperingati orang
meninggal aku menghubungi Tia tapi tetap tak ada balasan. Entah aku tidak tahu
ke mana ia pergi.
***
“Hei, Ga. Lama gak ketemu. Ke mana aja
loe?” tanya Tia yang berpapasan denganku di kantin kampus.
“Heleh,,, bukannya kamu yang ngilang?”
“Hehehe, ya ginilah.... punya pacar
baru.”
“Wah.... enak tuh ditraktir.”
“Wuuuu ,,, loe maunya gratisan terus
Ga.”
“Eh, emang siapa yang mau sama cewek
tomboy kayak kamu?”
“Wo jangan salah loe Ga. Tomboi gini gue
tetep manis. Loe aja pasti mau kan jadi cowok gue?” sanggah Tia yang tidak
terima dengan ejekanku.
“Hahaha, ogah kali. Yang ada kamu tuh
yang ngarep jadi cewekku, tapi gak kesampaian.”
“Woooo dasar ni anak ngajakin perang.
Tuh, cowok baru gue. Si Dika.”
“Emm,,, pantes.”
“Woi, pantes kenapa?!” tanya Tia padaku.
“Hehehe, enggakk....”
“Ah, loe gitu.....”
“Hehehe, gak ada traktiran kok.”
“Alah,, yaudah. Gue mau hangout dulu
sama pacar baru. Bye....”
“Ya.... hati-hati. Ntar digigit. Haha”
***
Semenjak saat itu, aku dan Tia tak lagi
sering bertemu. Mungkin ini akhir kisah kami. Atau, breaknya kisah kami atau hanya hidupku. Yaaa.... begitulah hidupku,
sering kali berakhir dengan aku yang berlari sendiri. Tak apa, ini adalah
petualanganku. Jika orang lain ingin aku berada dalam hidupnya, aku tak
keberatan. Jika tak ada yang ingin aku menjadi bagian hidupnya, bukan masalah
bagiku. Masih ada Tuhan dan keluarga yang pasti akan menemaniku. Mereka
kesusahan juga aku gak bakal bisa bantuin banyak hal. Cuma ngasih saran dan
pendapat aja. Paling tidak, kisah ini bisa kukenang dan kuceritakan pada orang
lain dan membuat kami tersenyum setiap mengingatnya.
oh my god
ReplyDeleteoh my god
ReplyDeletehahaha ngeri pokoke....
ReplyDelete