Malam kini
tiada terasa sunyi lagi, angin berhembus dengan kencangnya menembus batas jiwa
dan sejukkan raga. Bintang kini bersinar amat terang temani bulan yang sesekali
meredup tertutup oleh awan. Mimpi-mimpi mulai terukir di kisah yang baru tanpa
ada seorang pengganggupun. Bebas berangan tanpa peduli ditertawakan. Kisah baru
itu kumulai dari saat ini. Saat dimana aku benar merasa sebagai barang berharga
bagi orang lain. Saat dimana tatapan mata ini hanya untuk menjadikanku seolah
sang juara, bukan taatapan mata agar diingat oleh orang atau sebatas mendapat
perhatian.
“Hey, apa yang
kini ada dalam anganmu teman?” tanya hati kecil ini pada diri yang tengah
menghadap kepada cermin bergelombang.
“Tidak, aku
hanya mencoba untuk benar-benar mengerti siapa aku dan bagaimana yang
seharusnya aku lakukan. Hanya sebatas ingin tahu seberapa aku dapat dihargai
orang lain.”
Mimpi memang
tak selamanya bisa menjadi nyaa, namun setidaknya ada perjuangan yangkelak
dapat kita ceritakan. Akau memang bukan sang juara, aku hanyalah pecundang bagi
diriku sendiri dan tiada yang mampu mengerti betapa aku merindukan saat dimana
namaku dielukan di depan khalayak. “Entah, aku sendiri lupa kapan terakhir hal
itu terjadi. Atau bahkan memang tidak pernah. Aku merindu akan hal ang tidak
pernah aku lakukan.”
Ini bukan
tentang cinta teman, ini hanya seuah narasi fiksi yang tiada kaitannya dengan
hidupmu, hidupku, atau hidup siapapun di dunia ini. Kau kelak asti akan
menemukan hal yang jauh lebih baik dari ini. Iya, suatu saat nanti.
“Lihat dirimu
sekarang! Dulu kau pernah menjadi emas yang tenggelam milik ibu pertiwi. Tapi
kini, siapa dirimu? Adakah yang mengenalmu?”
“Ya, mungkin
memang tidak ada yang mengenalku untuk saat ini. Tapi akan kupastikan suatu
ketika, namaku akan terpajang di setiap pintu rumah. Setiap barang yang dsukai
oleh anak-anak.”
Mungkin ini
kahayalan yang terlalu tiada berarti, namun aku yakin. Tidak akan ada mimpi
yang tersiakan.
“Ehem,,,,,”
Bidadari malam
nampak jelita berkacamata menghampiri sang pangeran kesepian dalam
keheningannya. Nampak wajah sibuk bak tembok rata tak peduli akan apa yang ada
di sampingnya. Hanya masih sibuk menatap langit malam yang penuh akan bintang
dan diiringi bias indah sinar bulan pada mata tajamnya yang nampak begitu seius
menatapnya.
“Hey, jangan
ngalamun lah..... kau tak lihat ada bidadari cantik duduk disampingmu?”
“Hmmmfftttt......”
hembus nafas panjang dari rongga pernafasan layaknya truk membuang asap dari
knalpot yang tengah distarter.
“Ah, kau tak
pernah berubah sejak dahulu. Sejak zaman di mana api masih menyala di
tembok-tembok penduduk. Kurang lamaKah waktu untukmu menjadi seseorang yang
lebih menyenangkan? Cobalah kau hibur gadis manis mempesona ini. Jangan kau
siakan senyum manis yang ada di sampingmu. Kapan lagi ada yang mau mendekatimu?
Malam sunyi senyap hening seperti ini, kau masih saja dingin pada bidadari yang
turun dari jannah.”
“Jannah, itu tempat yang ada di atas
sana. Pernah kau lihat bintang, bulan, dan awan bersama menghias kegelapan
untuk sekedar menghiburmu? Itu adalah Jannah
yang mampu menghiburku saat ini. Jangankan bidadari, seribu penghuni surga pun
tak mampu menarik mataku saat ini. Aku tengah menikmati keindahan alam
ciptaan-Nya. Andai kau tahu, kau adalah salah satu keindahan itu.” Tersenyum
sambil berbaring menatap senyum bidadari surga yang duduk di samping pria
pengagum langit malam.
“Asal kau tahu,
kau tak perlu berputar untuk mengatakan betapa indah dan manis senyum di
bibirku. Tak perlu kau ukir kata dan kalimat di atas air hanya untuk
menyenangkanku. Cukup kau gores tinta di langit yang gelap tanpa bintang, kau
pasti mampu mengabadikan senyum dalam binar mataku.”
“Tidak, aku
tidak akan pernah melakukan apapun untuk menyenangkanmu. Kau hanya fajar yang
datang saat aku merindukan pelukan hangat ibuku, kau hanya langit jingga yang
tiada berarti jika tak dilihat dengan kegalauan, karena hanya kau yang mampu
hapuskannya.”
Bait demi bait
di antara kami terus bersahutan layaknya pembacaan puisi oleh ribuan penyair.
Kami hanya berdua ditemani angin malam dan sinar remang sang kartika penerang
dunia. Mungkin langit pun iri melihat kami. Rega dan Tia. Itulah nama kami sang
penyair di atas.
“Hoooooahhhhh.....
lama kelamaan syairmu membosankan ya!”
“Kau berkata
layaknya juara penyair, kau pun hanya tak lebih dari amatiran bukan?” ledek Tia
sang penyair pada sahabat karibnya.
“Ah, biarlah.
Aku mau pulang......”
“Hey, aku belum
selesai bicara! Hey! Hey! Takbisakah kau hargai wanita?”
“Dalam hidupku
tiada wanita selain ibuku!”
“Diam kau!”
lanjut Rega seraya meninggalkan Tia.
“Plakkkkkk!!!!”
Terdengar suara
keras di sekitar kepala rega. Nampaknya sepatu hak tinggi milik Tia berhasil
mendarat tepat di ubun-ubun Rega.
“Ahhhh,,,
apasihhhh...???”
“Kau
benar-benar perlu didik ya!”
“Diamlah
nenek!!”
“BAMMMMM....!!!!!”
LAGI. Terdengar
suara aneh dari kejauhan. Suara yang amat mengerikan.
“Wushhhhhh.....”
Rega segera terbang mendekat pada asal suara itu.
Tia, ia hanya
terdiam dan menatap sahabatnya.
“Wuusshhhhzzzzz.....
ada apa ini? Siapa yag melakukannya?? Akan kubalas dia.” Gerutu Rega sambil
melayang di udara tepat di atas kobaran api besar yang membakar sebuah
angkringan tempat ia biasanya bertemu dengan nasi kucing kesayangannya.
“Mr. Oh,
lihat!! Di atas ada Mr. Oh. Dia akan menangani semua ini.” Terdengar suara
beberapa orang menyahu-nyahutkan nama aneh ketika melihat Rega melayang di
angkasa.
“Weeehhhxxzzzzztt.....
Mr. Oh melayang.......” sambil berteriak nampaknya Rega berusaha mengejar sang
pembuat onar yang hanya mengendarai sepeda motor dan membawa sekarung uang beserta
nasi kucing dari angkringan itu.
“Ciiiaaaattt....
kutangkap kau!”
“Cling....”
berkat batu akik berwarna biru yang dipakainya, pencuri itu berhasil
menyembunyikan dirinya dari Mr. Oh.
“Hey.... di
mana? Sialan. Dia bisa menghilang rupanya!” berhenti dan berdiri di tengah
jalan yang amat remang akibat tak ada kendaraan melintas.
“Piiiiiimmmmmmmm....
pimmmmm.....”
“Whenggg....!!!”
Sebuah mobil
membunyikan klaksonnya ketika hampir menabrak Mr. Oh yang kehilangan teman
bermainnya.
“Tadi itu
hampir saja Mr. Oh menjadi cerita anak kecil belaka.”
“Sekarang,, di
mana aku harus mencari siluman kucing itu.?(siluman kucing=perampok nasi
kucing)”
Melayang di
angkasa, Rega masih saja bertingkah aneh tengok kanan-kiri untuk mencari ide
atau bahkan bisa melihat sang pemberontak itu.
Malam kini
semakin larut, pencarian Mr. Oh di gorong-gorong tak ada hasil.
“Mungkin aku
perlu seseorang untuk membantuku. Atau ini hanya soal waktu saja? Tapi semua
ini meresahkan masyarakat. Mr. Oh tidak bisa tinggal diam. Wushhhhhh....” pergi
menuju ke suatu tempat.
***
“Permisi? Guru?
Guru ada di mana?”
“Bang!!!!!”
sebuah palu pande besi terlempar tepat di muka Mr. Oh.
Tanpa pikir
panjang ia langsung pingsan terkenanya.
“Salah siapa
larut gini dobrak-dobrak pintu. Gak tau orang lagi anget tidur apa?!”
“nguuuunggg----
nguuungg---- ciluk ba!!”
Tiba-tiba dari
sebuah nyamuk kecil munculah sesosok Mr. Oh. Hanya saja sekarang ia nampak agak
kehilangan gigi. Nampaknya lemparan sang Guru masih ada dampaknya juga walau
tak mampu membuatnya pingsan.
“Weeee e e
e..... Kurang?” tanya sang Guru.
“Ampuuunnn ini
gigi sudah kayak kakak tua ....”
“Keluar! Besok
pagi kita bicarakan.”
“Ini sudah
pukul 03.00 dini hari guru. Kurang pagi kah?”
“Yasudah, minum
ini!” menyodorkan botol kecil kepada Rega yang tidak lain tidak bukan adalah
Mr. Oh.
“Glek,,, glek,,
glek... ini apa guru? Obat pencari makhluk halus?” tanpa pikir panjang, minuman
berkapasitas 250 ml itu langsung habis ditelannya.
“Itu supaya kau
dapat tidur, Nak!”
“Blang!!!”
seketika pintu dibanting di depan muka Mr. Oh dan ia langsung tertidur pulas
bagaikan di hotel berbintang tujuh.
***
Masih bersama
aku, Mr. Oh di pagi hari. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku layaknya aku
seorang jenderal yang tengah pingsan di medan peperangan. Perlahan mataku terbuka
dan dengan remangnya kulihat sesosok kecil berbaju putih dengan jenggot yang
menjulur panjang bagaikan belalai gajah yang terurai dengan indahnya. Nampaknya
ia adalah guruku yang tengah berada dalam wujud uniknya.
“Bangun! Ini
sudah jam 9 pagi. Kapan kau mau menangkap makhluk halus? Ia akan lebih sulit
dilihat jika malam.” Paksa Guru agar ku mau membuka mataku.
“Wushhhhtttt......”
“Brak!!!” tiang
listrik kutabrak dengan semangatku yang bangun kesiangan untuk kuliah.
“Sreett....
sretttt....”
Dia, lagi-lagi
guru menyeretku untuk masuk ke dalam rumahnya dan menyodorkan sebuah bungkusan
yang aku tak tahu apa isinya.
“Ini adalah
ramuan kuno Jawa. Jika kau gunakan ini untuk mandi tiga kali sehari kau akan
mampu melihat makhluk halus.”
“Wow, apakah
juga bisa tembus pandang pada baju wanita?” tanyaku dengan gaya sok lugu dan
penuh harap.
“Bisa, jika kau
terbunuh saat bertempur.” Jawab Guru yang memang sangat religius itu.
>_<
dengan tampang lusuhku yang ketika itu belum mandi aku mulai berfikir agak
nakal, mulai merasa ada yang tidak beres dengan angin yang sepoi menerpa
jiwaku.
“Pergilah.
Kampus tercintamu membutuhkanmu Nak.” Kata makhluk mungil yang mengajariku cara
bertahan hidup yang benar itu.
“Baik, doakan
aku Guru.” Sambil mengangkasa itu permintaan terakhirku pada guru yang selalu
kuidolakan.
***
“BOOOMMM.....!!!”
Suara ledakan
mengguncang kampus tercinta yang diidolakan oleh ribuan jiwa di dunia. Semua
orang berhamburan keluar dari segala arah. Tak peduli dari toilet, ruang kelas,
ataupun warung burjo di pinggir jalan, semuanya berhamburan keluar layaknya
Gunung Merapi meletus seperti pada legenda.
“Mungkin, ini
pemandangan seperti ketika krakatau meletus dulu.”
Aku yang masih
mengangkasa hanya terdiam mencoba merenung bagaimana caraku untuk meluluhkan
hati sang pembuat ledakan besar itu.
“Di mana
makhluk itu? Ledakannya bisa dilihat dengan mata telanjang tapi aku tak mampu
menemukannya. Apakah ramuan Jawa itu tak manjur lagi?” gerutuku di ketinggian
5.000 kaki.
“Ngeeeengggg.....”
“Gilak. Lu
nyopir pesawat apa lagi latian tempur? Jangan-jangan lu mau bunuh gue. Kita
temen sob!”
Sepertinya ini
memang bukan hariku. Mengangkasa saja ada pesawat yang mau menabrakku. Pantas
banyak banget yang jatuh ke air. Yang nerbangin aja belum pada bisa.
“Cusssss......”
sebuah sinar memancar kearahku dan tepat mengenai dada busungku.
“Brukkk...” aku
terjatuh ke lantai di antara ribuan orang yang tengah melihat pertempuran kami.
Makhluk halus
itu kini perlahan dapat kulihat walau masih agak buram. Mungkin ini disebabkan
karena ramuan itu baru kupakai mandi satu kali.
“Mr.
Ohhhh...... selamatkan kami! Tangkap dia!” teriak seorang perempuan yang ketika
kulirik benar-benar layaknya bisasari dari surga.
Akhirnya
pertempuran sengit di antara kami berujung pada ledakan-ledakan maha dahsyat di
udara. Mahasiswa yang kala itu menyaksikan masih terheran-heran akan siapa yang
berperan menjadi sesosok pahlawan ini. Akhirnya dengan sebuah tebasan tangan
layaknya Ultraman makhluk halus itu
berhasil kulumpuhkan. Nampaknya ia adalah sang petapa yang sering kulihat di
got dekat rumahku.
“Shriinnkkkkkkk.........!!!”
“Akhirnya kau
tewas juga..... ah tidak, belum, kau belum tewas, kau hanya pingsan. Paling
tidak itu sudah cukup untuk membuatku mengambil batu akik milikmu!”
“Ciyuuuzzz.......”
kini aku turun ke bumi layaknya Krishna
yang ingin menggembala sapi.
Tiba-tiba ada
sesosok perempuan cantik hadir di sampingku. Tak lain tak bukan dia adalah
gadis idamanku ketika di kampus. Seorang yang tak pernah menengok kearahku
walau selalu kulirik dan hadir dalam mimpiku. Seorang yang selalu kudamba
ditengah kesendirianku.
“Hay,,,,,?” sapa
manja gadis manis nan jelita itu kepada Mr. Oh yang masih memakai baju dengan
lengan gosong akibat terbakar di pertempuran barusan.
“Kamu tadi
keren banget!! Aku boleh minta sesuatu gak?” tanya gadis itu kepadaku.
“Apa? Mr. Oh
ada di sini untuk melayani masyarakat. (Seperdi DPR aja, DPR aja gak segitunya
juga)”
“Bolehkah saya
menciummu??”
Sambil merasa deg-degan
gak jelas dalam hati, aku mengangguk dan berkata iya.
Akhirnya,
ciuman manis darimu kudapatkan juga.
“Plak!!!!”
“Woi bangun!!!
Bayar tuh nasi kucig Loe!” tiba-tiba ada tamparan keras di pipiku dan seketika
ciuman dari gadis idaman itu sirna.
Perlahan mata
ini terbuka, melihat sesosok yang tinggi semampai dengan rambut terurai panjang
dan tak terlupakan kaca mata mungil yang membuat wajahnya nampak begitu manis.
Tia, ya, dia yang membangunkanku dari mimpi indah itu.
“Apasih Loe???!!
Gue habis nyelametin Universitas Gadjah barusan. Gue hampir aja dicium cewek.”
“Heh, bilang
aja kalau Loe mau gua cium! Bangun, ini udah malem, angkringannya dah mau
tutup.” Tambah Tia yang nampaknya agak jengkel. Atau memang tingkah dan gayanya
yang seperti itu.
“Apa? Bukannya
angkringan ini abis dibakar?”
“Ntar Loe yang
gue bakar kalau sampe di rumah! Gue di sini sendirian dalam kesepian, Loe malah
enak-enakan tidur.”
Jadi, kini aku
sadar. Semua itu hanya mimpi.
“Loe tadi
pingsan kena sepatu gue.” Jawab Tia singkat, padat, merakyat ke gue yang hampir
aja dapet ciuman dari cewek manis idaman gue. Ya meskipun memang gak bisa
ngalahin manisnya sahabat gue yang ini, tetep aja dia idola gue.
Satu pelajaran
yang bisa gue ambil dari ngangkring malam ini. Khususon buat kamu-kamu semua
yang ngerasa cowok tulen, kalau pergi
sama cewek jangan sampe lupa bawa helm. Daripada kena PHP akibat kelempar
sepatu cewek terus pingsan dan ngimpi hampir dapet ciuman tapi gak jadi,
mending loe make helm bak bang Rossi yang mau mengudara.
***
“Bunga, kini
bermekaran lagi. Menyambut aku kembali ke kehidupan yang fana ini. Jauh dari
masa laluku bersama sang sahabat karib yang jelita, entah ketika malam atau
ketika mentari tetap bersinar. Dia, akan tetap jelita, dan aku, akan tetap
menjaganya.”
“Syair lagi?
Ayo pulang. Gue kangen loe boncengin nih.”
“Ah, modus
cewek itu banyak. Apalagi Loe, bilang aja manja gakmau pulang sendiri. Rumah
juga Cuma RT sebelah gitu.”
“Hehehehe, Loe
masih tau aja Ga! Yok buruan, nasib jomblowers kayak loe emang pas di sini.
Jadi budak gue aja. Hehehe.”
No comments:
Write comments