Malam kini datang lagi, menyelimuti kota yang
kian larut nampak semakin sepi tak berpenghuni. Bulan dan bintang semakin indah
menghiasi lagit gelap yang disertai udara dingin menerpa kulit. Lalu-lalang
kendaraan masih ada di pinggir taman kota meski tak sesibuk ketika siang hari. Di
sanalah dia, Rico nampak menduduki seepedanya yang beerwarna putih dengan garis
merah. Sepeda yang ia pinjam dari salah satu teman di tempat ia tinggal.
“Lihat mereka, membuatku teringat semasa sekolah
menengah dulu.” Dalam hati Rico berkata sambil mengingat masa lalunya ketika ia
melihat segerombolan orang berpasang-pasangan duduk di pinggir jalanan
itu.
itu.
Tak sulit baginya untuk mengingat tentang masa
lalu ketika sekolah menengah yang belum lama ia tinggalkan. Kala itu salah satu
temannya bernama Eko dengan postur tubuh tinggi dan rambut ikal bercerita
kepadanya tentang kisah hidupnya.
Saat itu Rico tengah duduk sendirian di kantin
sekolahnya ketika ada sesorang yang menepuk bahunya, Eko, teman sekelasnya yang
cukup akrab dengannya.
“Gak makan Ric?” sambil duduk di kursi samping
Rico.
“Eh, enggak. Lagi dalam proses ngirit.” dengan
gaya Rico yang sedikit kampungan.
“Hhhhhh….. Kadang hidup di dunia itu rumit juga
ya? Kita kadang udah ngorbanin semua hal buat orang yang kita sayang, tapi
hasilnya kita justru dicampakan.” sambil menghela nafas Eko mencoba bercerita
tentang masalah yang ia hadapi pada Rico.
“Hehe, cinta, cinta, cinta, semua orang jadi
gila gara-gara itu. Termasuk kamu juga ya ko?” sambil tersenyum Rico mencoba
menanggapi kata- kata Eko.
“Dan cewek selalau cari masalah sama cowok.
Kalau ditegasin nangis, kalau gak ditegaasin seenaknya aja. Makasih bu….” kata
Eko sambil menerima semangkuk mie dari ibu penjaga kantin.
“Emangnya kamu habis diapain sama si Rista cewek
kamu itu?” Rico sok ingin tahu.
“Yahhhhh….. biasalahhh… cewek sok sibuk. Sibuk
ini, itu, dan ini lagi. Kalau lagi butuh aja dia mau hubungin gue, kalu gue
yang butuh gak pernah dia luangin waktu buat gue. Rasanya lebih tersiksa
daripada jomblo men.!” keluh Eko yang ngaku gak diperrhatiin ceweknya.
“Kenapa gak jomblo aja kalau gitu? Hehe” tanya
Rico dengan tawanya yang cukup mengejek.
“Di situlah masalahnya, gue itu bingung maksud
dia apa. Gue udah nyoba sebisa gue luangin waktu buat dia, apa yang gue bisa
udah gue lakuin demi dia. Gue berfikir kalau semua berakhir, Cuma bakal bikin
dia sedih. Uhuk….” papar Eko sambil tersedak.
“Yahhh,,, masalah gitu aja sampai tersedak. Itu
semua perasaan kamu aja kali. Mungkin kalau kamu bisa lepasin dia, dia justru
bakal bahagia.” Rico yang punya gaya sok bijak mencoba memberi solusi pada Eko sambil
gerak-gerakin tangannya.
“Emmmm… Kazaknza itcu phathut diczobha Ric.” dengan
mulut penuh Eko maish merespon.
Sruput….. Tapi kalau enggak gimana?” masih
dengan wajah ragu Eko bertanya pada Rico.
“Sekarang tanyain aja pada diri kamu sendiri
deh, kamu pilih sengsara karena diperlakuin seenaknya, atau bebas berbuat
apapun yang kamu suka dan gak ada yang perlakuin kamu seenaknya.” tegas
Rico dengan tatapan menantang Eko untuk
melakukan hal yang dikatakan olehnya.
“Gak ada pilihan lai ya Ric? Masa keadaan gue
serumit itu?” sambil memandang Rico dengan mata melotot tanda serius meminta
solusi lain.
“Ada sih kalau kamu mau.” jawab Rico singkat.
“Apa? Barangkali bisa bikin dia berfikir gue
lebih berharga gitu? Kalau lebih enak pasti gue lakuin kok. Biar dia gak
semena-mena lagi.” dengan antusiame tinggi Eko bertanya pada Rico.
“Masuk jurang, dengan kamu mausk jurang, dia
bakal tau seberapa berharganya diri kamu baginya.”
“Gilak…!!! Loe mau bunuh gue?” Eko memotong
perkataan Rico.
“Lah katanya pengen yang lain? Itu tadi
udah paling enak. Kamu lepasin dia biar
dia tahu rasanya ketika kamu udah gak ada waktu lagi buat dia.”
“Tetttttt… Udah jam masuk Ric, buruan masuk aja,
gurunya killer.” kata Eko yang mendengar bel masuk.
“Killer itu buat kamu, tapi aku ini kan anak
kesayangan dia. Heheheh.”
***
“Huh… Tapi sekarang aku bukan anak SMA lagi.
Sekarang aku ada di sini bersama keluarga baruku.” Hela nafas panjang Rico di
malam itu benar-benar seperti burung kehilangan sayapnya.
Dengan semangat yang tersisa kala itu, ia
mengayuh sepedanya mengelilingi taman kota. Tak peduli dengan hembusan angin
merobek kulitnya. Hanya kesejukan angin malamlah yang ada dalam fikirannya.
No comments:
Write comments