Thursday, April 11, 2019

Sang Pengganti (Sebuah Kegagalan 3)

 

Ini hari ketiga Al di Bandung, Kota Kembang. Dan masih berkutat dengan bos nya yang belum deal juga soal pekerjaan yang harus dilakukan. Terombang-ambing tak jelas. Setiap melihat ke arah bos nya pun, nampak kosong. Dengan rambut acak-acakan dan kacamata yang sedikit tergantung dari pangkal hidung. Dalam benak Al, mungkin orang jenius penampilannya selalu acak-acakan seperti itu.

"Kriiing....." hanphone Al berdering. Rupanya Atun. Gadis dengan rona merah di pipi saat ia tertawa yang menelpon. Sontak Al mengangkat ponselnya meski di depan si bos.
"Assalamualaikum,"
"Waalikumsalam, Al. Lagi sibuk gak? Ngopi yuk!"
"Aku tanya atasan aku dulu ya. Nanti tak kabarin."
"Oke, ditunggu kabarnya."
"Wassalamu'alaikum."
"Waalikumsalam, Al."

Karena belum deal juga, akhirnya si bos membiarkan Al, si anak baru untuk pergi. Katanya, kalau mulai bekerja akan dihubungi. Al terhitung baru di kantornya. Ia baru bergabung enam bulan lalu. Sebulan setelah menyelesaikan kuliahnya yang molor, langsung nyemplung di kantor nya.

"Jadi, ketemu di mana, Tun?"
"Aku share ya lokasinya. Kita ketemu di situ."
"Oke."

Cafe Toraja. Meski menggunakan nama Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, cafe tempat mereka bertemu tetap menggunakan desain moderen. Terlihat di sudut ke sudut meja-meja besi dengan atasan kayu yang nampak seratnya masih mengkilap, tanda sama sekali belum ada pengunjung yang datang setelah dibersihkan oleh waitress. Tembok-tembok yang menyajikan bata merah bertuliskan kata-kata sederhana dan artistik pun mengelilingi meja kursi itu. Nampak pula sebuah ruangan kecil tiga kali lima meter dengan pintu kaca yang didesain untuk meeting di salah satu sudut ruangan utama. Layar proyektor dan LCD nampak jelas dari tempat Al menunggu.

"Hai."
"Oh, hai."
"Sudah lama nunggu?"
"Yah lumayan. Sama aja sih. Di hotel juga nganggur. Bisa-bisanya klien belum kasih kepastian gini. Biasanya udah pas sebelum berangkat."
"Haha, ceritain diri kamu lagi donk. Biar aku bisa kenal kamu lebih, Al."
"Hem?"
"Iya. Tentang kamu. Hidup kamu. Cita-cita. Sebelum kamu kerja di sini. Keluarga. Atau apa sajalah."
"Kenapa gak kamu dulu?"
"Karena aku yg minta kamu duluan, Al."
"Ogah ah."
"Yah, lagian hidup aku gak menarik."
"Masa?!"
"Iya. Apa menariknya seorang gadis yang hidup bersama Kakek nenek nya karena broken home?!"
"Ehem? Serius??"
"Tentu. Sudah sejak sekolah dasar."
"Kamu hebat, Tun. Tangguh."
"Apanya?"
"Ya itu. Aku aja kalau ke luar kota agak lama, udah homesick sama ibuk aku."
"Hffftt... Cowok tulen gasih?"
"Hahahaha, serius."
"Mana bisa! Jangan ngada-ada Al!"
"Hahahaha boleh percaya, boleh tidak."
"Masih gapercaya kalau ada cowok melankolis separah itu. Kasihan istri mu besok kalau ditinggal pulang bentar²."
"Hahaha, tentu tidak. Ibuku adalah orang pertama yang mencintai ku. Jauh sebelum aku kenal cinta. Tapi istriku, adalah orang yang paling dicintai ayahnya."
"Maksudmu Al?"
"Ayahnya, mempercayai ku untuk menjaganya. Tidak mungkin aku mengecewakan ayahnya."
"Dih, serius amat Al. Becanda doang."
"Bhahahahah , biarin. Biar kamu tau kalau aku orang baik."
"Aishhhhh... Seperti laki-laki kebanyakan. Buayanya langsung muncul di awal jumpa. Paling satu dua Minggu lagi kamu ketemu aku bawa cewek lain."
"Hahaha, Korban ya neng?"
"Haha, pernah sih."
"Halah, malah kemana ini pembicaraan nya. Em... Boleh dong, besok aku main ke rumah? Kenalin Kakek nenek kamu , Tun?"
"Hmmm.. tentu. Besok aku jemput di hotel kamu ya. Gak jauh kok."

Wednesday, March 27, 2019

Sang Pengganti (Lembang 2)

 

"Ayok! Langsung aja."
"Lah,? Tiketnya gimana Tun?"
"Udah, aku yang urus. Aku sering main ke sini, sampai petugas tiketnya hafal. Jadi, gitu deh.!"
"Bisa ya kayak gitu?"
"Ayok buruan, Al.!"

Atun adalah seorang periang. Sepertinya, hidupnya menarik. Tawa dan senyum di wajahnya saat berbicara membuatku semakin ingin mengenalnya lebih jauh. Dan benar, ini tempat yang bisa meruntuhkan semua stres. Sejuk, dingin, ah tidak. Hangat mungkin lebih tepat. Atau, apalah rasanya. Damai. Yah meskipun banyak pengunjung, tempat ini terlalu luas untuk menampung semuanya. Masih banyak kami jumpai sudut-sudut taman yang kosong. Rainbow Garden. Lembang, awal cerita dimulai.
***

"Sini Al. Foto bareng aku."
"Ok."
"Cekrek..."
"Satu kali saja?"
"Iyalah, buat kenang-kenangan aja. Kan kita kesini mau piknik."
"Okelah, kamu benar."

Satu kali saja. Rasanya aku sudah lama mengenal dia. Bertahun-tahun. Hingga yang ada di pikirannya, seolah aku mengerti. Padahal, baru jumpa dua kali. Mungkin, sebab dia periang. Jadikan kami seolah kawan lama.
***

Menyusuri jalan setapak tempat wisata di Lembang, Bandung dengannya. Udara sekitar jadi bergerak perlahan. Mengalun bagai desiran senar gitar. Mengiringi setiap detik waktu dua insan bercengkrama. Sesekali, tertubruk anak-anak yang tengah berlarian. Tak ingin rasanya waktu berlalu.

"Aku lihat, di sana ada perahu. Bisa itu disewa, Tun?"
"Tentu, ada apa?"
"Sepertinya, melihat suasana dari tengah danau, menarik."
"Boleh, lagipula aku juga belum pernah melakukannya."

Udara bergerak lirih kini tak sendiri. Ia mengiringi kami bersama gelombang-gelombang air danau tersapu dayung. Seketika, tengah danau tujuan kami telah menanti.

"Maaf, ini kacamata minus? Boleh kulepas?" Tanyaku tak sopan, sembari menarik kacamata di wajahnya.
"Ah, tidak kok."
"Benar kan, lebih hening, tenang, dan sejuk. Semoga saja tidak ada hal yang menyebabkan perahu kita terguling. Aku tidak bisa berenang."
"Sungguh? Itu menarik. Kukira, kau orang serba bisa."
"Kamu lihat di sana,? Di sudut itu ada 2 orang anak kecil. Sepertinya kakak beradik. Tenang sekali rasanya melihat sepasang saudara damai seperti itu." kata Ali sembari masih memegangi kacamata milik kawan barunya itu.
"Hahah, dan kau lihat itu? Kakek dan nenek itu duduk di depan secangkir kopi asli daerah sini. Mereka sedang membicarakan tujuh anaknya yang telah menjadi orang. Meskipun, tiada satu pun yang tinggal bersama mereka." seketika perhatian kami tertuju pada salah satu sudut tempat itu. Di sebuah gazebo, di mana sepasang Kakek dan nenek terduduk. Riang, nampak begitu cerah wajah keduanya.
"Kopi lokal? Kau bisa melihat tulisan di cangkir sejauh itu? Dan mendengar percakapan dari jarak sejauh ini?" Ali terheran-heran.
"Tentu."
"Hah? Bohong." Ali masih terheran.
"Ehm...." Sembari tersenyum, Atun, sosok perempuan yang kutemui di sudut lapangan taman Nasional tiga hari lalu, memaparkan segala yang ia tahu, tentang tempat ini. Mulai keluarga tukang penjaga tiket, ibu perawat kebun, mas-mas artisan (peracik kopi) yang di depan, bapak yang membuat tata ruang taman, hingga, Senda gurau Kakek nenek yang selalu menghabiskan satu hari sepekan nya untuk duduk di sudut taman ini. Luar biasa. Atun benar-benar seperti nyawa tempat ini. Segala seluk beluknya ia tau.

"Terimakasih cerita panjangnya Mbak Atun. Sekarang, giliran saya."
"Kamu punya cerita apa memang?"
"Aku tidak akan bercerita. Tapi, aku akan memulai cerita." Sembari membawa topik ringan, Ali mengeluarkan kotak dari ranselnya. Kotak itu transparan. Nampak ada benda kehitaman di dalamnya, dan bergerak-gerak. Ali berpikir bahwa tempat tersebut tepat untuk melepaskan isi kotak itu.

"Wow, kura-kura air tawar? Sejak kapan kau membawanya?"
"Kau telah menceritakan semua tentang tempat ini. Satu hal yang tidak kudengar, adalah di danau ini ada kura-kura. Jadi, biarkan aku melepaskannya, ya?"
"Dengan senang hati. Boleh aku lepas yang satu? Sepertinya ini pasangan." Lalu, mata perempuan itu bersinar. Membuka cakrawala baru, memberi semangat baru dalam dunia Ali. Terbiaskan sinar senja di matanya. "Sungguh, inikah yang disebut pesona senja. Datang tak lama, membuat tak mampu berkata-kata, lalu sirna berganti malam yang gelap." Gumam Ali di pikirannya.

Senja telah berlalu. Lampu-lampu taman mulai bersinar. Dari ujung ke ujung, berurutan menyala dengan delay sepersekian detik, seolah membentuk koreo pertunjukan. Langit telah gelap, dan perahu yang ditunggangi keduanya pun baru saja selesai didayung menepi. Anak-anak yang berlarian tak terlihat lagi. Juga sepasang Kakek nenek tidak lagi di gazebo yang sama. Atun, dan Ali beranjak. Sesaat setelah melepaskan sejoli hewan di danau yang damai itu.

Sunday, March 17, 2019

Politik, Memperbaiki Dengan Tangan Kotor, dan Memilih Dengan Sok Suci

 

Jumpa lagi dengan tahun politik. Dua ribu sembilan belas sebagai tahun ke sekian Indonesia berada pada periode politik. Memilih, dipilih, dan stres. Tiga hal identik dengan orang-orang yang terkait pada kata politik.

Memilih, bagi puluhan juta rakyat Indonesia. Diberi kebebasan menentukan pilihannya, untuk satu pemimpin selama satu periode ke depan. Bebas. Kalau kebanyakan orang memilih yag itu, ya yang itu yang jadi pemimpin. Perkara dalam perjalanan ada permasalahan, bisa demo, lalu lengserkan.

Dipilih, bagi mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin masa depan. Harta, jiwa, dedikasi, pekerjaan sebelumnya, keluarga, dan segalanya dikorbankan dengan harapan dapat dipilih oleh mayoritas masyarakat lalu menjadi pemimpin satu periode ke depan.

Stres, bagi mereka yang gagal menjadi pemimpin dan bermental lemah untuk menerima kenyataan. Tapi wajar. Bagaimana tidak stres, wong semua sudah dikorbankan? Bisa saja, puluhan, atau ratusan kamar di rumah sakit jiwa berisi ex calon pemimpin. Orang yang waras, bisa saja berpikir, "Untung dia tidak jadi, bisa saja kita dipimpin orang stres." Ada juga yang prihatin.

Tapi, poinnya bukan di situ. Melainkan pada seberapa bersih tangan para calon pemimpin itu. Karena, negara yang mau dipimpin perlu ia perbaiki, dengan di-'sentuh'-nya. Kalau tangan kotor memperbaiki mahkota, silakan terjemahkan hasilnya.

Dari berbagai hal menyebalkan, orang-orang berkata tentang observasi. Untuk memperbaiki 'sesuatu' dengan tepat, Anda harus observasi terlebih dahulu. Dan orang dengan 'tangan kotor' itulah yang telah benar-benar mengobservasi. Mereka memberanikan dirinya masuk ke dalam sistem kotor, yang juga mengotori dirinya. 'Bukan orang yang sok suci dan berkomentar di luar sana, ini salah, seharusnya begini, dan begitu.'

Pada tahun politik ini pula, rakyat banyak yang berganti profesi. Dari yang pengusaha besar menjadi politisi, hingga pengangguran yang menjadi kritikus calon legislatif. Luar biasa efek tahun politik. Efektif mengurangi pengangguran di masyarakat.

Yang menyedihkan, kalau ada orang tak tahu apa-apa seperti saya, turut memberikan framing agar orang-orang memilih pilihan saya. Seolah saya paling tau atas pemimpin paling benar. Kemudian, lawan saya juga mengungkapkan minusnya pilihan saya. Ternyata, seimbang. Jelas, ini hanya akan memberikan kegolputan Nasional. Sebaiknya, hentikan itu. Ungkap saja fakta yang ada, Ndak usah memframing. Biarkan nurani yang memilih, lalu kawal hingga akhir.

Karena, Anda tidak akan pernah bisa memperbaiki 'sesuatu' tanpa menyentuhnya.

Monday, February 25, 2019

Selamat Buat Mbak Lia

 
Selamat buat mbak Lia, satu per satu mimpimu sudah terwujud. Dari punya suami pengusaha, sampai sekarang dengan hadirnya dedek kecil bernama Usman Zayn Ar Rasyd. Putra pertama dengan Mas Afdi. 😀 Dan sekarang, saatnya saya berhenti menonton kesuksesan orang lain serta mengomentarinya.


Monday, February 4, 2019

The Best Moment (2018)

 

2018 is a beautiful story. God give me a lot of experience at that time. I have Left my old life, and getting i'm new. But, in the deepest of my heart, i refuse all of my changes. So God take me return to my real life. At the beginning of that time, letting me to my highest of dreams. All of my plans looks can be reached. Career, brotherhoods, Love, and all of i want to do looks so close to my eyes.

And then, God show the real of my destiny. All of my dreams removed at same time, one by one. I lost of my biggest dream ever. I lost of my brotherhoods. I lost of anything. At the Last, my love was broken!

May, God wanna give me it's Best plan. Maybe not.

God, thanks for everything. You so amazing. You gave me everything by short time, and you take it again as easy as you gave it's.

Now, i just thinking if you want me to be yours only. I'll always being yours, God. No one can take me out from you, the most scholar!

Friday, December 21, 2018

Sang Pengganti (Pengantar 1)

 
Rasa itu hadir, menusuk qalbu dan membawaku terbang tinggi. Ke awan, terus melambung jauh di angkasa. Aku berpikir ini yang mereka sebut cinta. Kurasakan tepat tiga tahun yang lalu. Hanya berawal jabat tangan dan senyum manja. Tak ada yang tahu, hanya aku dan Tuhanku. Dan kini semakin menjadi, setelah ia pergi. Yang dua lusin bulan terus bercerita tentang hidupnya padaku. Sirna, entah dengan siapa. Lalu kamu, masih seperti dulu. Nampak begitu merona, bercahaya, dan selalu memalingkan wajahku dari indah dunia lainnya. Meski doaku telah berubah, engkau secara halus tetap di dalamnya.

Hati ini tak paham lagi. Ia gila, dan tak rasional. Apapun itu, membuatku semakin menjadi. Apa yang ku punya, seolah hanya untukmu seorang. Bahkan, nafas dan ubanku pun ingin ku titipkan padamu jika mampu menambah senyum di bibirmu, walau sedikit.

"Tun, ini sudah malam. Apa kau tak mau masuk?"
"Tidak Ti. Sebentar."
"Baik, nanti dikunci ya pintunya. Uti tidur duluan."
"Iya Ti, selamat malam."

Malam kala kudengar cerita itu, begitu gelap. Sunyi dan membisu. Purnama memang bersinar, tapi angin bergerak begitu lambat. Perlahan menyeringai dedaunan yang kehitaman pertanda tak terjamah cahaya. Desir hati ini pun merobek kesunyian. Bergetar, meledak bak ratusan petasan menyala di malam tahun baru. Aku rindu.

"Entah. Kali ini baru kurasa pertama."
"Apa ini? Rindu begitu mendalam. Kenapa bisa?"
"Dan, kenapa harus padanya? Yang nyaris pasti tak mungkin kumiliki lagi."

Gumamku pada tembok di sisi kanan kiri ku. Tak ada seorangpun di sana.

****

Waktu terus berlalu. Bergulir tak peduli aku yang sendiri. Rindu juga sama. Menyerang, merasuk dalam hati dan jiwaku. Membuat semua yang nyata seolah membisu.

"Saya perhatikan dari jauh, Anda melamun, Mbak?"
"Ini, kopi untuk menghangatkan Mbak."
"Terimakasih mas."
"Sedang menunggu seseorang, Mbak?"
"Hm.. tidak kok mas."
"Langitnya, cerah ya.? Saya suka sekali cuaca malam ini."
"Benar. Pas sekali. Oh iya, Mas namanya siapa?"
"Ali."
"Saya Atun, Mas." Sembari menjabat tangan memecah keheningan malam yang dingin dan membekukan hati.
"Boleh, saya duduk, Mbak?"
"Kenapa tidak?"
"Mbak Sendiri saja datang ke sini?" Sembari merebahkan tubuh di Alun-alun, lalu kumulai basa-basi ku.

Tak jelas memang bahasan kami. Tapi, cukup untuk menghabiskan malam dan tak terasa sudah larut.

"Saya pulang dulu mas. Kalau luang, bisa kita jumpa lagi." Pamitnya sembari meninggalkan kertas kecil bertulis akun sosial medianya.
"Oke Mbak, nggak perlu saya antar kan?!"
"Tidak Mas."

***

Minggu telah berganti. Kunjungan kerja di ibu kota pun usai. Selanjutnya, Kota Kembang Bandung adalah alasan aku kembali berapi-api. Lembang lebih tepatnya.

"Hei!" Terdengar sorak Sorai dari kejauhan seperti memanggilku.
Dan benar, aku yg tengah bercengkrama dengan rekan kerjaku menoleh ke arah datangnya suara itu.
"Atun? Ngapain di Lembang?" Tanyaku.
"Loh? Oh iya, sudah kesana kemari ngobrol tapi belum bilang kalau aku tinggal di Bandung ya."
"Hah? Maksudnya tinggal di Bandung?" Konfirmasi ku.
"Iya Al. Aku orang Lembang, Bandung. Di Jakarta, aku hanya mampir."
"Oh, sini join!"

Kali ini bukan alun-alun yang menjadi latar. Melainkan warung kopi pinggir gedung Asia-Afrika yang menjadi latar jumpaku dengan Atun. Lalu, setelah berkenalan dengan rekan kerjaku, kami bercengkrama. Renyah. Santai, dan hidup. Hingga di ujung bahasan, Aldo, rekan kerjaku pamit kembali ke hotel untuk istirahat. Wajar saja, tiga hari lalu Aldo baru selesai bertugas di Bintan dan kembali ke Jakarta. Sayangnya, karena sedang padat, ia juga dikirim untuk tugas ke Bandung bersamaku.

"Sudah selesai kerjaanmu Al?"
"Belum, ada sedikit problem sih sama klien. Jadi ditunda dulu untuk action nya. Mungkin lusa baru jalan lagi kalau Deal."
"Em, berarti hari ini luang donk?"
"Iya sih, ada apa Tun?"
"Temenin jalan, mau? Aku tunjukin ke kamu tempat yang pas buat beresin stres di Lembang."
"Oke,"


Thursday, December 20, 2018

Fintech, Adaptasi Perkembangan IT atau Kemunduran Ekonomi?

 

Sebuah Narasi, Fauzy Genzo

Fintech agaknya menjadi istilah yang semakin meledak di era milenial ini. Kata yang merupakan akronem dari Financial dan Technology tersebut umum digunakan untuk menyebut aplikasi keuangan khususnya aplikasi untuk pengajuan pinjaman. Baik di Indonesia maupun di Luar Negeri perusahaan di bidang ini terus menjamur.

Perusahaan start up berlomba menciptakan berbagai fasilitas dalam genggaman mengingat penggunaan ponsel pintar terus mengalami kenaikan seperti tertulis di laman kominfo.go.id. Iming-iming kemudahan dalam bertransaksi terutama pengajuan pinjaman menjadikan teknologi keuangan ini dapat berkembang dengan pesat. “Lalu, di mana masalahnya?”

Terkait dengan perdagangan data, biarkan pihak lain yang mengulasnya. Bisnis data memang selalu menarik untuk dilirik. Sayangnya, di sini saya mengajak pembaca sedikit memainkan logika pada perekonomian. Narasi ini berisi sejumlah dugaan dan membiarkan pembaca yang mungkin ‘lebih tahu’ untuk berkomentar di bilah yang tersedia.

Sebenarnya, munculnya metode pembayaran dengan uang elektronik (e-money) memang memudahkan kita dalam bertransaksi. Tanpa perlu mengeluarkan dompet dan uang fisik, atau juga mencari receh untuk kembalian, kita dapat nyaman bertransaksi. Jika ini dilakukan dengan metode transfer antar bank (e-banking) jelas ketika satu rekening bertambah, rekening lainnya akan berkurang.

Setuju?

Lalu bagaimana dengan aplikasi keuangan pihak ketiga? Tidak etis rasanya menyebut merek di sini. Istilahkan saja DO-PAY atau DRAB-PAY dan PAY-PAY lainnya. Misalkan, kita transfer dari rekening Bank A ke akun virtual kita di PAY tersebut, umumnya jumlah yang masuk/keluar itu sama. Rekening Bank A saya berkurang Rp10k, dan rekening virtual saya bertambah Rp10k. jika membayar antar rekening virtual, misal saya beli melalui aplikasi dan membayar dengan PAY tersebut Rp10k, pasti mutasi dalam rekening saya dan rekening lawan transaksi akan berkurang dan bertambah sebesar Rp10k.

Clear?

Lalu, bagaimana dengan perlakuan voucher? Saya sering mendapatkan voucher dalam akun virtual pay saya. Kadang, bisa sampai Rp40k. Kalau saya gunakan jasa kirim dan bayar menggunakan voucher tersebut, apakah kurir juga mendapatkan tambahan Rp40k di rekening virtualnya? Padahal, kalau cash bisa dapat Rp40k berbentuk uang fisik.

“Ya mas, kalau vouchernya 10k, dia pakai jasa saya 11k, yang 10k nanti masuk rekening virtual syaa dan bisa dicairkan di bank.” Kata salah satu agen jasa yang juga teman saya itu.

Adil kan? Tidak ada pertanyaan lagi? Jawabannya, BANYAK!

Lalu, uang siapa yang digunakan untuk mengganti voucher tersebut? Perusahaan penedia PAY? Kalau voucher hanya senilai 40k sih gampang. Lah kalau usernya 1juta, masing-masing menggunakan voucher 4k sudah 4juta sehari lho. Kalau sebulan, sudah 120juta. Tenang, tidak se-ekstrim itu. Kita pakai saja yang 4juta uang perusahaan terpakai untuk mengganti voucher. Ya setidaknya perusahaan harus membayar biaya iklan sebesar itu untuk waktu satu hari.

Empat Juta sehari, dan anggap saja sepuluh hari sebulan berarti 120 hari setahun dikali 4 juta.

Saya yakin manajemen perusahaan pasti memiliki metode income generating yang baik sehingga kecil kemungkinan untuk merugi.

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !