Sebuah Narasi, Fauzy Genzo
Fintech agaknya menjadi istilah yang semakin meledak di era
milenial ini. Kata yang merupakan akronem dari Financial dan Technology
tersebut umum digunakan untuk menyebut aplikasi keuangan khususnya aplikasi
untuk pengajuan pinjaman. Baik di Indonesia maupun di Luar Negeri perusahaan di
bidang ini terus menjamur.
Perusahaan start up berlomba menciptakan berbagai fasilitas dalam genggaman
mengingat penggunaan ponsel pintar terus mengalami kenaikan seperti tertulis di
laman kominfo.go.id. Iming-iming kemudahan dalam bertransaksi terutama
pengajuan pinjaman menjadikan teknologi keuangan ini dapat berkembang dengan
pesat. “Lalu, di mana masalahnya?”
Terkait dengan perdagangan data,
biarkan pihak lain yang mengulasnya. Bisnis data memang selalu menarik untuk
dilirik. Sayangnya, di sini saya mengajak pembaca sedikit memainkan logika pada
perekonomian. Narasi ini berisi sejumlah dugaan dan membiarkan pembaca yang
mungkin ‘lebih tahu’ untuk berkomentar di bilah yang tersedia.
Sebenarnya, munculnya metode
pembayaran dengan uang elektronik (e-money) memang memudahkan kita dalam
bertransaksi. Tanpa perlu mengeluarkan dompet dan uang fisik, atau juga mencari
receh untuk kembalian, kita dapat nyaman bertransaksi. Jika ini dilakukan
dengan metode transfer antar bank (e-banking) jelas ketika satu rekening
bertambah, rekening lainnya akan berkurang.
Setuju?
Lalu bagaimana dengan aplikasi
keuangan pihak ketiga? Tidak etis rasanya menyebut merek di sini. Istilahkan
saja DO-PAY atau DRAB-PAY dan PAY-PAY lainnya. Misalkan, kita transfer dari
rekening Bank A ke akun virtual kita di PAY tersebut, umumnya jumlah yang
masuk/keluar itu sama. Rekening Bank A saya berkurang Rp10k, dan rekening virtual
saya bertambah Rp10k. jika membayar antar rekening virtual, misal saya beli
melalui aplikasi dan membayar dengan PAY tersebut Rp10k, pasti mutasi dalam
rekening saya dan rekening lawan transaksi akan berkurang dan bertambah sebesar
Rp10k.
Clear?
Lalu, bagaimana dengan perlakuan
voucher? Saya sering mendapatkan voucher dalam akun virtual pay saya. Kadang,
bisa sampai Rp40k. Kalau saya gunakan jasa kirim dan bayar menggunakan voucher
tersebut, apakah kurir juga mendapatkan tambahan Rp40k di rekening virtualnya?
Padahal, kalau cash bisa dapat Rp40k berbentuk uang fisik.
“Ya mas, kalau vouchernya 10k,
dia pakai jasa saya 11k, yang 10k nanti masuk rekening virtual syaa dan bisa
dicairkan di bank.” Kata salah satu agen jasa yang juga teman saya itu.
Adil kan? Tidak ada pertanyaan
lagi? Jawabannya, BANYAK!
Lalu, uang siapa yang digunakan
untuk mengganti voucher tersebut? Perusahaan penedia PAY? Kalau voucher hanya
senilai 40k sih gampang. Lah kalau usernya 1juta, masing-masing menggunakan
voucher 4k sudah 4juta sehari lho. Kalau sebulan, sudah 120juta. Tenang, tidak
se-ekstrim itu. Kita pakai saja yang 4juta uang perusahaan terpakai untuk
mengganti voucher. Ya setidaknya perusahaan harus membayar biaya iklan sebesar
itu untuk waktu satu hari.
Empat Juta sehari, dan anggap
saja sepuluh hari sebulan berarti 120 hari setahun dikali 4 juta.
Saya yakin manajemen perusahaan
pasti memiliki metode income generating
yang baik sehingga kecil kemungkinan untuk merugi.
No comments:
Write comments