Tuesday, March 22, 2022

Pesan Dari Ayah

 

“Uncle, apa menurutmu semua laki-laki kesulitan meninggalkan kisah masa lalunya?” halus terdengar pertanyaan dari wajah lugu keponakanku yang entah tiba-tiba menanyakan hal konyol seperti itu. Padahal, usianya telah menginjak 22 tahun.

“Kenapa kamu bertanya begitu?”

Seperti biasa, aku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Namun, kali ini bukan hanya karena keisenganku. Aku lebih kepada penasaran dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul itu.

Padahal, ini adalah pagi yang cerah. Cahaya matahari yang mulai naik walau belum terlalu tinggi, terasa begitu hangat menyapu embun di dedaunan. Tapi, keponakanku satu ini malah menanyakan hal tak terduga. Aku yang tengah menyemprot bunga Wijayakusuma di depan teras, jelas bangkit rasa penasarannya. Juga, buncit perutku semakin membesar pertanda udara di dalamnya bertambah. Seolah, dia juga penasaran.

“Ayah dari salah seorang temanku berpesan kepada kami. Waktu itu, kami sedang asik menikmati karya kami berdua. Mendoan hangat dan teh manis di pagi hari. Mungkin, sekitar setengah enam pagi, Uncle.”

“Beliau di tengah bincang kami yang begitu santai, seketika membawa topik berat.”

“Soal kriteria, ayah percayakan padamu seutuhnya. Tapi, ketika kamu menikah kelak pastikan kalian saling mencintai.” Kata keponakanku sembari menirukan intonasi lembut seorang ayah yang berpesan kepada anak perempuannya.

“Bukankah itu nasihat yang bagus, nduk?” tanyaku mengkonfirmasi.

“Paman juga pasti mengucapkan itu kepada sepupumu kelak ketika ia sudah dewasa.” Kataku melanjutkan.

“Akan terasa menyakitkan jika kamu hidup dengan laki-laki yang tidak pernah mencintaimu. Atau, setidaknya dia belum selesai dengan masa lalunya.” Imbuh keponakan perempuanku yang lugu itu.

“Dan Uncle tahu, salah seorang temanku yang lain membenarkan hal itu. Katanya, beberapa kenalannya memiliki suami yang belum selesai dengan masa lalunya. Bahkan, sekali dua meluangkan waktu untuk bertemu dengan orang dari masa lalunya.” Pungkasnya. Matanya berubah. Sedikit lebih tajam dan di sudut masing-masing kelopak matanya terlihat basah.

Tetes air dari daun Wijayakusuma mulai berjatuhan. Kuputuskan berhenti sejenak dan mengajak keponakanku duduk di bangku teras depan rumah.

“Dengar kata pamanmu, Nduk.” Aku mulai membuka percakapan.

“Ada berbagai tipe laki-laki di dunia ini. Di antaranya adalah mereka yang menjatuhkan seluruh hatinya kepada perempuan yang dinikahinya. Laki-laki yang bertanggung jawab atas perkataannya untuk senantiasa melindungi perempuan yang telah ia pilih.”

“Paman harap, kamu juga mendapatkan salah satunya kelak.”

“Ketahuilah, bahwa tidak mungkin seorang laki-laki tidak jatuh cinta kepada perempuan yang setiap pagi membuatkannya kopi.” Kataku dengan penuh penekanan.

“Sedangkan pesan ayah temanmu adalah perkara lain. Paman tidak pernah tahu seberapa sakit dan bahagia kehidupan seseorang. Akan tetapi, daripada kamu menikah saat kalian saling mencintai, menikahlah dengan laki-laki yang sungguh engkau butuhkan.”

“Kenapa begitu,? Karena hidup dengan laki-laki tidak berguna membutuhkan kesabaran. Hidup dengan laki-laki yang tak sungguh kau inginkan butuh kesabaran. Kau harus belajar menghargainya bahkan jika ia hanya memberimu sedikit waktu, sedikit uang, dan sedikit candaan garing. Itu jelas bukan perkara sederhana dan mudah.”

***

“Hhhhmmffffttttt................” suara hembus nafas beratku yang sungguh melegakan.

“Aku pikir, si bocil itu hanya bertanya iseng. Ternyata, sudah ada laki-laki yang membuatnya yakin saat beberapa waktu lalu menanyakan hal konyol itu padaku. Dan lihat sekarang, dia sudah menikah padahal tak lebih dari tiga bulan lalu ia tak percaya pada laki-laki. Hidup memang penuh misteri. Selamat, Keponakan Paman!” kataku dalam hati.

No comments:
Write comments

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !