Senja Yang Temaram
Sungguh, benar telah kutitipkan seutuhnya
Rasa gelisah yang telah lama tak kurasa
Hanya kepadamu, sekalipun kau tak merasa
Partner Terbaik Anda
Sore ini Jogja cukup syahdu. Matahari bersinar di akhir pekan, terhalang mendung tipis yang tak menandakan hujan. Rasanya, nikmat untuk bersantai. Sayang aku terlalu mendramatisir banyak hal di dunia ini. Hingga, tiada kabarmu saja mengganggu jalannya hariku. Kalau saja tidak ada sikapmu yang kuanggap teka teki itu, rasanya hidupku sudah hambar.
Tapi, teka teki mu sebenarnya tak membawaku pada hal yang lebih baik juga. Ia justru memenuhi otak dan merusak mood di setiap waktu. Sayangnya lagi, tidak ada orang lain yang menarik dalam hidupku. Sungguh menyedihkan.
"Apa kabar hari ini?" Tanyamu.
"Baik. Bagaimana harimu?" Jawabku.
Dan demikian saja rasanya aku seperti terbang tinggi yang kemudian jatuh ke jurang kekecewaan. Ku rasa, sudah saatnya aku berhenti memprioritaskan kamu di hidupku. Sudah saatnya berhenti memenuhi otakku dengan hal hal yang tidak menyehatkan itu. Sayangnya, aku seketika menjadi balita yang tengah belajar berjalan. Mencoba menguatkan tekad untuk melangkah maju, yang selalu takut terjatuh dan justru kembali mundur.
Padahal, jika jatuh, aku bisa bangkit lagi bukan? Jika akhirnya aku hidup tanpa kamu lagi, tidak ada yang berubah bukan? Semua akan kembali seperti sebelum cerita ini dimulai. Aku akan baik-baik saja sebagaimana pernah melalui hidup di waktu yang lalu. Itu saja.
Ku rasa, kalimat seorang sahabat itu pantas menjadi penguat hidupku. Adalah "Berhenti memperjuangkan yang tidak pasti." Kurang lebih demikian, dan yah. Oke. Detik ini juga aku memulainya. Semua akan kembali seperti sedia kala. Aku tidak punya alasan hidup di titik ini, sendirian. Jika pada akhirnya, dengan tiba-tiba Tuhan kabarkan hal yang aku harapkan sebelumnya, itu adalah hadiah. Sebaliknya, jika memang kita harus menjalani hidup masing-masing, itu tak apa. Belum lama ini juga aku mengalaminya bukan? Dan, memang sedikit iri. Tapi itulah hidup. Itulah tumbuh. Kau butuh kaki yang kuat untuk berlari. Dan kau butuh tulang rusuk yang tangguh untuk menjaga organ vital titipan Tuhan. Tidak ada artinya suatu kaki yang kau idamkan tapi tak pernah mampu membawamu menuju keceriaan. Terimakasih. Sudah menjadi pengganggu dalam tidurku.
I still don't know what do you feel
From a few years ago, till now
I just understand that you are so unic
You're so different
I just wanna you to see
In this last few month, i can't stop thinking about you
I feel something different, in the deepest of my heart
I started afraid from loosing you
At the time you look so different than usual,
That feel comes stronger
I'm afraid can't tell you what i feel, and really loosing you
Give me a time to stated what i feel directly,
So everything can be clear
Thanks for comes to me at the time i really down
Thanks for being my new power at the time i tired
Thanks for being one of my reason so i did that theses
Sure, i'm falling in love with you now.
Ini hari ketiga Al di Bandung, Kota Kembang. Dan masih berkutat dengan bos nya yang belum deal juga soal pekerjaan yang harus dilakukan. Terombang-ambing tak jelas. Setiap melihat ke arah bos nya pun, nampak kosong. Dengan rambut acak-acakan dan kacamata yang sedikit tergantung dari pangkal hidung. Dalam benak Al, mungkin orang jenius penampilannya selalu acak-acakan seperti itu.
"Kriiing....." hanphone Al berdering. Rupanya Atun. Gadis dengan rona merah di pipi saat ia tertawa yang menelpon. Sontak Al mengangkat ponselnya meski di depan si bos.
"Assalamualaikum,"
"Waalikumsalam, Al. Lagi sibuk gak? Ngopi yuk!"
"Aku tanya atasan aku dulu ya. Nanti tak kabarin."
"Oke, ditunggu kabarnya."
"Wassalamu'alaikum."
"Waalikumsalam, Al."
Karena belum deal juga, akhirnya si bos membiarkan Al, si anak baru untuk pergi. Katanya, kalau mulai bekerja akan dihubungi. Al terhitung baru di kantornya. Ia baru bergabung enam bulan lalu. Sebulan setelah menyelesaikan kuliahnya yang molor, langsung nyemplung di kantor nya.
"Jadi, ketemu di mana, Tun?"
"Aku share ya lokasinya. Kita ketemu di situ."
"Oke."
Cafe Toraja. Meski menggunakan nama Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, cafe tempat mereka bertemu tetap menggunakan desain moderen. Terlihat di sudut ke sudut meja-meja besi dengan atasan kayu yang nampak seratnya masih mengkilap, tanda sama sekali belum ada pengunjung yang datang setelah dibersihkan oleh waitress. Tembok-tembok yang menyajikan bata merah bertuliskan kata-kata sederhana dan artistik pun mengelilingi meja kursi itu. Nampak pula sebuah ruangan kecil tiga kali lima meter dengan pintu kaca yang didesain untuk meeting di salah satu sudut ruangan utama. Layar proyektor dan LCD nampak jelas dari tempat Al menunggu.
"Hai."
"Oh, hai."
"Sudah lama nunggu?"
"Yah lumayan. Sama aja sih. Di hotel juga nganggur. Bisa-bisanya klien belum kasih kepastian gini. Biasanya udah pas sebelum berangkat."
"Haha, ceritain diri kamu lagi donk. Biar aku bisa kenal kamu lebih, Al."
"Hem?"
"Iya. Tentang kamu. Hidup kamu. Cita-cita. Sebelum kamu kerja di sini. Keluarga. Atau apa sajalah."
"Kenapa gak kamu dulu?"
"Karena aku yg minta kamu duluan, Al."
"Ogah ah."
"Yah, lagian hidup aku gak menarik."
"Masa?!"
"Iya. Apa menariknya seorang gadis yang hidup bersama Kakek nenek nya karena broken home?!"
"Ehem? Serius??"
"Tentu. Sudah sejak sekolah dasar."
"Kamu hebat, Tun. Tangguh."
"Apanya?"
"Ya itu. Aku aja kalau ke luar kota agak lama, udah homesick sama ibuk aku."
"Hffftt... Cowok tulen gasih?"
"Hahahaha, serius."
"Mana bisa! Jangan ngada-ada Al!"
"Hahahaha boleh percaya, boleh tidak."
"Masih gapercaya kalau ada cowok melankolis separah itu. Kasihan istri mu besok kalau ditinggal pulang bentar²."
"Hahaha, tentu tidak. Ibuku adalah orang pertama yang mencintai ku. Jauh sebelum aku kenal cinta. Tapi istriku, adalah orang yang paling dicintai ayahnya."
"Maksudmu Al?"
"Ayahnya, mempercayai ku untuk menjaganya. Tidak mungkin aku mengecewakan ayahnya."
"Dih, serius amat Al. Becanda doang."
"Bhahahahah , biarin. Biar kamu tau kalau aku orang baik."
"Aishhhhh... Seperti laki-laki kebanyakan. Buayanya langsung muncul di awal jumpa. Paling satu dua Minggu lagi kamu ketemu aku bawa cewek lain."
"Hahaha, Korban ya neng?"
"Haha, pernah sih."
"Halah, malah kemana ini pembicaraan nya. Em... Boleh dong, besok aku main ke rumah? Kenalin Kakek nenek kamu , Tun?"
"Hmmm.. tentu. Besok aku jemput di hotel kamu ya. Gak jauh kok."
"Ayok! Langsung aja."
"Lah,? Tiketnya gimana Tun?"
"Udah, aku yang urus. Aku sering main ke sini, sampai petugas tiketnya hafal. Jadi, gitu deh.!"
"Bisa ya kayak gitu?"
"Ayok buruan, Al.!"
Atun adalah seorang periang. Sepertinya, hidupnya menarik. Tawa dan senyum di wajahnya saat berbicara membuatku semakin ingin mengenalnya lebih jauh. Dan benar, ini tempat yang bisa meruntuhkan semua stres. Sejuk, dingin, ah tidak. Hangat mungkin lebih tepat. Atau, apalah rasanya. Damai. Yah meskipun banyak pengunjung, tempat ini terlalu luas untuk menampung semuanya. Masih banyak kami jumpai sudut-sudut taman yang kosong. Rainbow Garden. Lembang, awal cerita dimulai.
***
"Sini Al. Foto bareng aku."
"Ok."
"Cekrek..."
"Satu kali saja?"
"Iyalah, buat kenang-kenangan aja. Kan kita kesini mau piknik."
"Okelah, kamu benar."
Satu kali saja. Rasanya aku sudah lama mengenal dia. Bertahun-tahun. Hingga yang ada di pikirannya, seolah aku mengerti. Padahal, baru jumpa dua kali. Mungkin, sebab dia periang. Jadikan kami seolah kawan lama.
***
Menyusuri jalan setapak tempat wisata di Lembang, Bandung dengannya. Udara sekitar jadi bergerak perlahan. Mengalun bagai desiran senar gitar. Mengiringi setiap detik waktu dua insan bercengkrama. Sesekali, tertubruk anak-anak yang tengah berlarian. Tak ingin rasanya waktu berlalu.
"Aku lihat, di sana ada perahu. Bisa itu disewa, Tun?"
"Tentu, ada apa?"
"Sepertinya, melihat suasana dari tengah danau, menarik."
"Boleh, lagipula aku juga belum pernah melakukannya."
Udara bergerak lirih kini tak sendiri. Ia mengiringi kami bersama gelombang-gelombang air danau tersapu dayung. Seketika, tengah danau tujuan kami telah menanti.
"Maaf, ini kacamata minus? Boleh kulepas?" Tanyaku tak sopan, sembari menarik kacamata di wajahnya.
"Ah, tidak kok."
"Benar kan, lebih hening, tenang, dan sejuk. Semoga saja tidak ada hal yang menyebabkan perahu kita terguling. Aku tidak bisa berenang."
"Sungguh? Itu menarik. Kukira, kau orang serba bisa."
"Kamu lihat di sana,? Di sudut itu ada 2 orang anak kecil. Sepertinya kakak beradik. Tenang sekali rasanya melihat sepasang saudara damai seperti itu." kata Ali sembari masih memegangi kacamata milik kawan barunya itu.
"Hahah, dan kau lihat itu? Kakek dan nenek itu duduk di depan secangkir kopi asli daerah sini. Mereka sedang membicarakan tujuh anaknya yang telah menjadi orang. Meskipun, tiada satu pun yang tinggal bersama mereka." seketika perhatian kami tertuju pada salah satu sudut tempat itu. Di sebuah gazebo, di mana sepasang Kakek dan nenek terduduk. Riang, nampak begitu cerah wajah keduanya.
"Kopi lokal? Kau bisa melihat tulisan di cangkir sejauh itu? Dan mendengar percakapan dari jarak sejauh ini?" Ali terheran-heran.
"Tentu."
"Hah? Bohong." Ali masih terheran.
"Ehm...." Sembari tersenyum, Atun, sosok perempuan yang kutemui di sudut lapangan taman Nasional tiga hari lalu, memaparkan segala yang ia tahu, tentang tempat ini. Mulai keluarga tukang penjaga tiket, ibu perawat kebun, mas-mas artisan (peracik kopi) yang di depan, bapak yang membuat tata ruang taman, hingga, Senda gurau Kakek nenek yang selalu menghabiskan satu hari sepekan nya untuk duduk di sudut taman ini. Luar biasa. Atun benar-benar seperti nyawa tempat ini. Segala seluk beluknya ia tau.
"Terimakasih cerita panjangnya Mbak Atun. Sekarang, giliran saya."
"Kamu punya cerita apa memang?"
"Aku tidak akan bercerita. Tapi, aku akan memulai cerita." Sembari membawa topik ringan, Ali mengeluarkan kotak dari ranselnya. Kotak itu transparan. Nampak ada benda kehitaman di dalamnya, dan bergerak-gerak. Ali berpikir bahwa tempat tersebut tepat untuk melepaskan isi kotak itu.
"Wow, kura-kura air tawar? Sejak kapan kau membawanya?"
"Kau telah menceritakan semua tentang tempat ini. Satu hal yang tidak kudengar, adalah di danau ini ada kura-kura. Jadi, biarkan aku melepaskannya, ya?"
"Dengan senang hati. Boleh aku lepas yang satu? Sepertinya ini pasangan." Lalu, mata perempuan itu bersinar. Membuka cakrawala baru, memberi semangat baru dalam dunia Ali. Terbiaskan sinar senja di matanya. "Sungguh, inikah yang disebut pesona senja. Datang tak lama, membuat tak mampu berkata-kata, lalu sirna berganti malam yang gelap." Gumam Ali di pikirannya.
Senja telah berlalu. Lampu-lampu taman mulai bersinar. Dari ujung ke ujung, berurutan menyala dengan delay sepersekian detik, seolah membentuk koreo pertunjukan. Langit telah gelap, dan perahu yang ditunggangi keduanya pun baru saja selesai didayung menepi. Anak-anak yang berlarian tak terlihat lagi. Juga sepasang Kakek nenek tidak lagi di gazebo yang sama. Atun, dan Ali beranjak. Sesaat setelah melepaskan sejoli hewan di danau yang damai itu.
Jumpa lagi dengan tahun politik. Dua ribu sembilan belas sebagai tahun ke sekian Indonesia berada pada periode politik. Memilih, dipilih, dan stres. Tiga hal identik dengan orang-orang yang terkait pada kata politik.
Memilih, bagi puluhan juta rakyat Indonesia. Diberi kebebasan menentukan pilihannya, untuk satu pemimpin selama satu periode ke depan. Bebas. Kalau kebanyakan orang memilih yag itu, ya yang itu yang jadi pemimpin. Perkara dalam perjalanan ada permasalahan, bisa demo, lalu lengserkan.
Dipilih, bagi mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin masa depan. Harta, jiwa, dedikasi, pekerjaan sebelumnya, keluarga, dan segalanya dikorbankan dengan harapan dapat dipilih oleh mayoritas masyarakat lalu menjadi pemimpin satu periode ke depan.
Stres, bagi mereka yang gagal menjadi pemimpin dan bermental lemah untuk menerima kenyataan. Tapi wajar. Bagaimana tidak stres, wong semua sudah dikorbankan? Bisa saja, puluhan, atau ratusan kamar di rumah sakit jiwa berisi ex calon pemimpin. Orang yang waras, bisa saja berpikir, "Untung dia tidak jadi, bisa saja kita dipimpin orang stres." Ada juga yang prihatin.
Tapi, poinnya bukan di situ. Melainkan pada seberapa bersih tangan para calon pemimpin itu. Karena, negara yang mau dipimpin perlu ia perbaiki, dengan di-'sentuh'-nya. Kalau tangan kotor memperbaiki mahkota, silakan terjemahkan hasilnya.
Dari berbagai hal menyebalkan, orang-orang berkata tentang observasi. Untuk memperbaiki 'sesuatu' dengan tepat, Anda harus observasi terlebih dahulu. Dan orang dengan 'tangan kotor' itulah yang telah benar-benar mengobservasi. Mereka memberanikan dirinya masuk ke dalam sistem kotor, yang juga mengotori dirinya. 'Bukan orang yang sok suci dan berkomentar di luar sana, ini salah, seharusnya begini, dan begitu.'
Pada tahun politik ini pula, rakyat banyak yang berganti profesi. Dari yang pengusaha besar menjadi politisi, hingga pengangguran yang menjadi kritikus calon legislatif. Luar biasa efek tahun politik. Efektif mengurangi pengangguran di masyarakat.
Yang menyedihkan, kalau ada orang tak tahu apa-apa seperti saya, turut memberikan framing agar orang-orang memilih pilihan saya. Seolah saya paling tau atas pemimpin paling benar. Kemudian, lawan saya juga mengungkapkan minusnya pilihan saya. Ternyata, seimbang. Jelas, ini hanya akan memberikan kegolputan Nasional. Sebaiknya, hentikan itu. Ungkap saja fakta yang ada, Ndak usah memframing. Biarkan nurani yang memilih, lalu kawal hingga akhir.
Karena, Anda tidak akan pernah bisa memperbaiki 'sesuatu' tanpa menyentuhnya.