Tuesday, April 28, 2015

PENDIDIKAN PANCASILA STUDI KASUS PELANGGARAN SILA KE 2 “KASUS PENEMBAKAN DI LAPAS CEBONGAN”

 



PENDIDIKAN PANCASILA
STUDI KASUS PELANGGARAN SILA KE 2
“KASUS PENEMBAKAN DI LAPAS CEBONGAN”




Disusun Oleh:
1.     Aida Meiyana (14812141010)
2.     Ika Wahyu Nurini (14812141014)

3.     Nurul Fauzi (14812141028)
4.     Tiokta Kartika Rini (14812141030)

AKUNTANSI A 2014
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Penegakkan keadilan di Indonesia, sampai saat ini masih dalam proses perkembangan. Banyak keputusan-keputusan lembaga pengadil yang masih menimbulkan kontroversi baik dari pihak terpidana maupun dari masyarakat. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat terkait hukum, sementara hukum beranggapan bahwa jika  suatu hukum telah ditetapkan maka seluruh anggota masyarakat dianggap telah mengetahui ketetapan tersebut. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Hal inilah yang menyebabkan kurang puasnya masyarakat terhadap putusan pengadil di Indonesia. Kemudian, ketidakpuasan tersebut menimbulkan efek berantai yang berupa protes-protes masyarakat kepada lembaga penegak hukum. Bahkan bentuk-bentuk protes tersebut ada juga yang bersifat ekstrim.
Sebagai contoh adalah proses penembakan di Lapas Cebongan, yang menurut Wadan Puspomad Brigjen Unggul K. Yudhoyono di wikipedia menyatakan bahwa penembakan tersebut dilatarbelakangi oleh rasa hutang budi pelaku kepada korban pengeroyokan yang dilakukan oleh kelompok Diki.
Secara tersirat tindakan tersebut menyatakan bahwa pelaku penembakan masih merasa kurang puas terhadap putusan pengadilan untuk penahanan pelaku pengeroyokan. Padahal menurut aturan hukum, pidana tersebut sudah pantas jika dijatuhkan pada pelaku pengeroyokan.
B.     RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah penerapan sila ke 2 dalam kehidupan sehari-hari?
B.     Bagaimanakah kronologi penyerangan di lapas cebongan?
C.     Pelanggaran apa saja  terhadap sila ke 2 yang dilakukan dalam kasus penembakan di Lapas Cebongan?
C.    KAJIAN TEORI
Sila ke 2 Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dapat dipisahkan menjadi beberapa kata sifat yaitu kemanusiaan, keadilan, dan beradab.
Menurut Max Havelaar dalam KBBI kemanusiaan dapat diartikan sebagai “perlakuan yang baik terhadap manusia”, selain itu dalam KBBI juga disebutkan bahwa diartikan “bersifat atau menyangkut manusia”. Sementara dalam artikata.com kemanusiaan dapat diartikan sebagai “sifat-sifat manusia; perasaan senantiasa mencegah untuk melakukan tindakan terkutuk”.
Selanjutnya adalah pengertian keadilan. Menurut Aristoteles, keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan ini diartikan sebagai titik tengah di antara dua ujung yan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Sementara Plato menganggap jika keadilan diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang diaktakan adil adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal.
Terakhir adalah kata beradab yang menurut artikata.com dan KBBI sama-sama memiliki makna “mempunyai adab; mempunyai budi bahasa yg baik; berlaku sopan, dan telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya”.
Dari beberapa kata di atas dapat diringkas dalam istilah HAM. Hal ini karena kemanusiaan, keadian, dan adab merupakan bagian-bagian dari HAM. Secara etimologis, kata “hak”  merupakan norma yang merupakan pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Sedangkan kata “asasi” berarti bersifat mendasar dan dimiliki oleh manusia sejak lahir. Kemudian beberapa ahli juga mengatakan pendapatnya mengenai pengertian HAM dalam tulisan Rowland Pasaribu (HAM) yaitu:
1.      Baharudin Lopa
Dengan mengutip pernyataan Jan Materson dari Komisi HAM PBB, menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
2.      John Locke
Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. Ia memperinci hak asasi sebagai berikut: :
-          hak hidup (the right to life)
-           hak kemerdekaan (right to liberty)
-          hak milik (right to property)
3.      F. D. Roosevel
Pada tanggal 6 Januari 1941, F. D. Roosevelt memformulasikan empat macam hak-hak asasi (the four freedoms) di depan Kongres Amerika Serikat, yaitu :
-          bebas untuk berbicara (freedom of speech)
-          bebas dalam memeluk agama (freedom of religion)
-          bebas dari rasa takut (freedom of fear)
-          bebas terhadap suatu keinginan/kehendak (freedom of from want)
Oleh karena itulah makna dari sila ke 2 ini sangat luas dan sangat menyangkut kehidupan manusia dengan manusia lainnya.


D.     
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENERAPAN SILA KE 2 DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Makna dari kemanusiaan yang adil dan beradab. Makna dari kemanusiaan mengadung arti bahwa kita sebagai manusia yang selalu dan pasti memerlukan interaksi dengan manusia yang lain maupun dengan lingkungan, terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi yang menganut agama tertentu. Jadi sebagi manusia, kita harus memanusiakan manusia yang lain. Kita dalam berinteraksi kepada manusia yang lain harus dengan cara-cara yang sebagaimana manusia pada umumnya. Sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Nilai kemanusiaan yang beradab mengandung makna bahwa beradab erat kaitannya dengan aturan-aturan hidup, budi pekerti, tata krama, sopan santu, adat istiadat, kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Pokok pikiran dari sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab :
1.      Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan. Maksudnya, kemanusiaan itu universal.
2.      Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Menghargai hak setiap warga dan menolak rasialisme.
3.      Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
4.      Berikut adalah penerapan Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang pertama adalah mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Hal ini bearati semua manusia dianggap sama baik dari segala sudut pandang. Sehingga disini tidak ada kelompok yang lebih unggul.
Yang kedua yaitu saling mencintai sesama manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang berati manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia harus saling berhubungan satu sama lain dengan baik. Mereka harus saling mencintai antar sesama manusia tanpa membeda-bedakan satu sama lain.
Yang ketiga mengembangkan sikap tenggang rasa. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, ras, suku bangsa, serta agama. Oleh karena itu semanusia yang mejiawai nilai-nilai Pancasila yang khususnya sila ke-dua manusia harus memiliki rasa toleransi dan tenggang rasa atas perbedaan tersebut.
Yang keempat adalah tidak semena-mena terhadap orang lain. Sebagai manusia beradab kita harus bisa memanusiakan manusia sesuai dengan yang seharusnya. Serta menjunjung  tinggi nilai kemanusiaan.
Yang kelima adalah berani membela kebenaran dan keadilan. Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum kita harus berani membela kebenaran. Selain itu kita  juga adil,  kalau salah ya katakan salah, kalau benar ya katakan benar. Jangan salah bilang benar ataupun sebaliknya.
B.     KRONOLOGI PENYERANGAN DI LAPAS CEBONGAN
Sholahuddin Al Ayyubi Jum'at,  5 April 2013  −  00:28 WIB, Sindonews.com - Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta berawal ketika mantan kopassus yang bernama Sertu Sriyono yang notebene rekan seangkatan dari pelaku, mengalami pembacokan oleh korban Lapas 2B Cebongan, Sleman Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan Sriyono tersungkur dan tewas di tempat kejadian.
Mengetahui rekan seangkatannya tewas di tangan korban Lapas 2B Cebongan, sebelas rekan seangkatan Sriyono langsung menyimpan dendam terhadap empat orang yang mengeksekusi Sriyono di tempat kejadian.
Selanjutnya, rekan-rekan Sriyono yang tergabung dalam grup 2 kopassus, seusai latihan dari Gunung Lawu, langsung mendatangi Lapas Cebongan. "Mereka adalah anggota kopassus, jadi sangat mudah untuk menemukan lapas, dimana pelaku yang menewaskan rekan seangkatannya" ujar Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono saat konferensi Pers di Kartika Media Center, Jakarta Pusat (4/4/2013).
Dengan bersenjatakan enam pucuk senjata, jenis senjata AK 47 berjumlah tiga buah yang dibawa dari tempat latihan, dan tiga pucuk senjata lainnya adalah replika AK 47 dan pistol.
Kemudian, Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono mengungkapkan, bahwa datangnya kesebelas rekan seangkatan Sriyono menggunakan dua unit kendaraan, yaitu satu unit mobil Avanza berwarna biru dan satu lagi menggunakan kendaraan APV berwarna hitam.
Lalu terdapat satu kendaraan lagi yaitu mobil feroza yang diisi oleh dua orang kopassus untuk mencegah kejadian tersebut, namun tidak berhasil untuk dicegah.
Setelah sampainya di lapas cebongan, grup dua kopassus tersebut langsung mendatangi petugas piket yang berjaga disana. Saat ditodongkan senjata AK 47, akhirnya petugas lapas membuka pintu lapas dan menunjukkan ruang tahanan tersebut.
Saat dimintai keterangan terkait dengan CCTV lapas, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono menjelaskan gerakan kopassus itu sudah seperti ninja, karena mereka memang sudah dilatih untuk cepat dan tidak terdeteksi.


C.    PELANGGARAN TERHADAP SILA KE 2 YANG DILAKUKAN DALAM KASUS PENEMBAKAN DI LAPAS CEBONGAN
Kasus Cebongan ini terkait dengan pelanggaran HAM yang tidak sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila Sila Ke 2. Pelanggaran yang pertama adalah menghilangkan hak untuk hidup bagi seseorang. Dimana empat tahanan dibunuh dengan cara ditembak berkali-kali di kepala. Bahkan  penembakan tetap dilakukan meskipun empat tahanan tersebut sudah dalam keadaan tewas.
Pelanggaran yang selanjutnya adalah pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hal ini terjadi saat sipir lapas tidak mau untuk membukakan pintu sebelum mendapat ijin dari pemimpin lapas terlebih dahulu namun pelaku tersebut mengancam akan meledakkan pintu dengan granat. Sesaat setelah kepala keamanan datang, pintu gerbang dibuka. Saat itulah belasan pelaku masuk ke dalam lapas. Mereka menggunakan senjata laras panjang dan menodongkannya ke penjaga. Sebagian di antaranya masuk ke penjagaan lapis dalam sembari menodong dan menyandera sipir. Selain itu sipir juga dianiaya dan diseret oleh pelaku sampai terlihat bercak darah di lantai penjara. Dua sipir yang terluka dalam kejadian tersebut  adalah Widiatmoko (35) yang mengalami luka pada bagian mulut dan gigi depan tanggal dan Nugroho Putro (30) yang mengalami luka bengkak diwajah terhantam gagang senjata.
Pelanggaran lainnya adalah hak untuk memperoleh keadilan. Dimana empat tahanan tersebut mendapat perlakuan atas pembunuhan diluar prosedur hukum. Seharusnya mereka hanya mendapat hukuman kurungan, tetapi pelaku tersebut menghakimi sendiri terhadap empat tahanan. Kegiatan menghakimi sendiri ini tentu melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Selain itu pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran atas rasa aman. Di mana dalam kasus ini menimbulkan rasa takut dan khawatir yang dialami oleh para tahanan, aparat kepolisian, petugas lapas, warga NTB yang berada di DIY karena salah satu dari keempat tahanan merupakan warga asli NTB, serta warga DIY secara umum.
Berdasar pelanggaran-pelanggaran tersebut selain juga tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila Sila Ke 2 perlakuan tersebut juga telah melanggar undang-undang. Pasal yang terkait dengan Kasus Cebongan tersebut adalah Undang-undang pidana pasal 351-358 KUHP tentang penganiyaan dan pasal 185, 338-340, 342, 343, dan 350 KUHP yang berkaitan tentang pembunuhan.
BAB III
SOLUSI

Melihat persoalan-persoalan yang telah diuraikan di atas, kita dapat mengetahui berbagai masalah tentang pelanggaraan nilai-nilai Pancasila terutama sila ke 2. Padahal seharusnya masyarakat bisa dapat dengan mudah mewujudkan milai-nilai sila ke 2, karena seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila berasal dari masyarakat itu sendiri. Kenyataannya masalah sepele tentang saling menghargai sesama manusia dan memperlakukan orang lain sebagai manusia seutuhnya saja tidak mampu.
Dengan melihat semua masalah tersebut, sebaiknya langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah lebih memberikan penyuluhan kepada masyarakat kususnya masyarakat golongan atas. Hal ini dikarenakan pelanggaran-pelanggaran nilai Pancasila yang berat justru sering dilakukan oleh kalangan atas. Seperti pada kasus di atas, justru para anggota kopassus lah yang menghakimi tersangka pengeroyokan, bukan masyarakat biasa. Oleh karena itu, mereka yang sering disebut berpendidikan harus difasilitasi oleh pemerintah agar benar-benar menjadi orang yang berpendidikan, bukan hanya difasilitasi berupa uang yang hanya akan membuat mereka merasa berkuasa.
Selain itu, hukum yang ada seharusnya juga ditegaskan. Bukan hanya masyarakat biasa yang melanggar hukum yang dipidana, tapi kalangan atas seperti anggota kopassus juga pantas untuk dipidana, bukan hanya sebatas pencabutan jabatan saja.
Pemerintah perlu mendengarkan suara dari masyarakat kecil, karena justru merekalah yang bisa berfikir secara netral dan tidak memihak siapapun. Percuma jika para pejuang di zaman dahulu bertumpah darah untuk menyatukan negeri ini jika pemerintahan yang sekarang tidak berusaha menjaga kesatuan tersebut. Selain dasar negara, Pancasila juga perlu dianggap sebagai peninggalan kaum terdahulu dan harus dijaga baik secara simbolik maupun dalam kehidupan sehari-hari.


BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pancasila merupakan kumpulan nilai-nilai dari seluruh masyarakat Indonesia. Namun meskipun begitu penerapan perilaku yang sesuai terhadap nilai-nilai tersebut masih sulit untuk diwujudkan.
Di sini, orang-orang yang dianggap tahu tentang hukum seperti anggota kopassus ternyata justru mengecewakan. Yang seharusnya paham dan menerima putusan hukum ternyata justru memilih untuk mengadili sendiri hanya akibat dendam pribadi/perasaan hutang budi. Sangat disayangkan jika dalam negara yang dibentuk atas perjuangan yang sangat berat ini ternyata justru perlahan dikacaukan oleh aparat pemerintah itu sendiri yang seharusnya mampu menjaga kedamaian di negeri ini.
B.     SARAN
Berdasarkan masalah-masalah yang telah dihadapi dalam penulisan makalah ini, maka jika ada yang akan menyusun makalah yang serupa hendaknya mengetahui terlebih dahulu makna sila, dan mencerminkan pada kehidupan di sekitar. Akibat tidak dilakukannya hal tersebut, penyusun merasa kesulitan untuk mencari kasus yang seharusnya dapat ditemukan dengan mudah.


DAFTAR PUSTAKA




No comments:
Write comments

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !