Sunday, April 26, 2015

Pemuja Langit Malam

 



Langit malam kini menyelimuti lagi, setelah kemarin aku merasakan hebatnya menjadi pahlawan yang hampir saja menjadi idola seluruh wanita, kini akhirnya aku harus kembali sebagai Rega yang tak mampu bertahan walau hanya dari terpaan agin kenangan masa lalu.
“Hffftttthhhh....” kembali kuhembuskan nada pelan damai dari dua lubang karunia-Nya yang tak pernah kudapatkan dari siapapun selain Dia.
Masih sama, di tempat yang sama dan tak mungkin tergantikan oleh yang lainnya pula. Aku, dan bersama dia, Tia. Sang sahabat karib nan cantik jelita yang nampak selalu lebih manis ketika di malam hari dengan kaca mata mungilnya.

“Hey, pemuja langit! Tak adakah syair untukku lagi? Atau kau kini berubah setelah kulempar dengan sepatuku?” tanya Tia saat aku masih mengagumi langit malam dengan berhiaskan bintang dan sinar cahaya kartika.
“Ayolah, maafkanlah sahabatmu ini. Apakah perlu aku menciummu sebagai ganti atas mimpi indahmu lalu yang kurusak?” tanya Tia dengan gaya manja seorang gadis layaknya merayu pria yang amat ia sayangi.
“Tidakkah kau pahami, langit begitu luas. Melindungi bumi yang di dalamnya mengandung begitu banyak dosa. Begitu banyak angan, kenangan dan mimpi yang tiada bisa jika harus menjadi nyata semuanya.” lirih suaraku mulai mengalunkan nada-nada penghias malam yang sunyi dan hanya ditemani segelas susu hangat.
“Ya, dan pernahkah kau melihat? Jikalau ada insan di dalamnya yang mengagumi indahnya senja, dan ada juga yang selalu gila ketika malam tiba?” sahut Tia dengan senyumnya yang mendamaikan hati sembari menatap wajahku yang tiada senyum tanpanya.
“Tidak akan pernah ada kenangan yang bisa untuk terhapus waktu. Biarkan mimpi menjadi mimpi, asal engkau tetap bersamaku. Tetap ada di sisiku saat aku membutuhkan teman yang sejati. Yang mampu membuatku mampu menghibur sahabat kecilku di dunia ini.”
Sahut menyahut syair antara kami terus berulang. Aku yang hanya terduduk di pinggir jalan depan rumahku bersama Tia dengan ditemani susu hangat sajian ibu tercintaku seolah mampu hilangkan dinginnya angin malam.
“Sudahlah, kau akan lelah jika hanya membuat syair di malam ini. Cobalah kau lihat bintang di sana. Dia bersinar untukmu. Untuk menghiburmu dari lelah hari ini.” kata Tia yang menyandarkan kepalnya di pundakku.
“Jadilah kau sepertinya. Berhentilah kau ganggu masa lalumu yang membosankan itu. Ia tak akan kembali padamu. Bersinarlah untuk orang-orang yang masih ingin bersamamu.” lanjutnya dengan aroma harum parfum khas miliknya.
“Hhhhfftttt.....” lagi, hanya hembus nafas pelan dariku menanggapi kalimatnya yang mencoba menenangkanku.
Memang, setelah kekasihku itu pergi entah ke mana, hanya Tia yang mencoba menghiburku di antara semua temanku. Bahkan langit pun akan mengerti betapa kerasnya ia mencoba membangunkanku dari mimpi gelap yang tiada berujung itu.
26 Desember 2014. Orang yang amat aku cinta pergi dari lubuk hatiku. Tanpa pamit, hanya meninggalkan untaian luka yang hingga kini belum terhapuskan.
“Kelak, aku akan mendengarmu. Akan kuhentikan syair ini, saat aku telah lelah. Saat di mana kenangan itu tiada berarti lagi bagiku.” kataku dengan masih menatap kegelapan yang jauh di sana.
“Dengar, bulan dan bintang tak akan meninggalkanmu. Walau siang datang, mereka tetap ada. Hanya kau saja yang tak dapat melihatnya. Itulah hidupmu. Aku, ayah, ibu, dan teman-temanmu tak sepenuhnya pergi darimu. Ka hanya tak melihatnya saja. Dia pergi, bukan berarti kau tak bisa lanjutkan waktumu.” bisiknya yang masih bersandar pada bahu lemahku.
“Aku masih ingat. Terakhir dia berkata untuk tidak tinggalkanku. Saat aku mencba untuk mempercayainya atas kata-kata yang sebelumnya tak pernah kupercaya. Yakinlah, itu satu salahku di masa yang lalu.”
“Paling tidak, di sini ada aku yang akan selalu bersamamu. Jika itu yang kau lihat. Karena kuyakin kau takkan pernah melihat mereka, kedua orang tuamu yang selalu mengharapkanmu.” lirih, masih amat lirih Tia berbicara kepadaku memecah kesunyian.
“Diamlah,! Kini aku bersama sahabatku. Diamlah wahai masa lalu yang tiada pernah akan kulupakan. Ini bukan berarti aku tak bisa meninggalkanmu. Kini aku punya kekuatan, aku punya sahabat yang tak akan pernah berhenti membakar semangatku.” kataku pada langit malam sambil berdiri membiarkan bahuku yang menjadi tempat sandaran itu terangkat menuju langit.
“Dengar, nafasku akan selalu bersamamu. Jarak boleh menjauhkanku darimu, tapi ikatan ini tak akan pernah kulupa. Ikatan ini tak akan pernah terputus. Yakinkan hatimu Ga.” Halus pintanya saat ia turut berdiri dan memeluk hangat tubuhku dari balik tulang punggungku.
***
Sektika detik seolah berjalan amat cepat. Malam kini telah larut. Angin pedesaan akhirnya kembali berhembus menambah dinginnya malam. Jam dinding pun mulai berdentang pertanda tengah malam tiba.
“Tia,?” tanyaku perlahan kepada gadis cantik setinggi bahuku yang tengah memelukku.
“Ya?” jawabnya dengan suara merdu yang akan takkan pernah kulupa.
“Ini sudah malam. Tidakkah kau ingin pulang?”
“Ehm, maaf. Malam ini langit nampak begitu indah.” Sambil melepaskan peluk tangannya dari tubuhku tia kembali terduduk.
“Ini sudah malam, tidakkah kau ingin pulang?” tanyaku pada Tia yang nampak sedikit berbeda malam ini.
“Iya, minta dianter boleh Pak?!” jawabnya sambil melihatku yang masih berdiri di sampingya yang terduduk di depan rumahku.
“Oh ayolah ibuk-ibuk. Manjanya itu dihilangin.!”
“Hehehe, tega kau membiarkan gadis manis ini pulang sendirian menerpa kegelapan?” rayu Tia kepadaku yang sok tak mau mengantarnya pulang.
“Yasudah, ayo.” Tia menatapku yang berlalu menjauh darinya untuk mengambil kendaraan kami.
***
“Ini, cepat naik! Gak baik cewek secantik kamu jalan malam-malam.!” perintahku sambil membawa sepeda kepadanya yang masih terduduk.
“Halah Pak, ini ada yang tidak beres.!!” Tia menunjukkan ban sepedanya yang kempes.
“Ah, kau itu. Kemana aja pasti ngrepotin. Hehe”
“Jangan gitulah, katanya sahabat???”
“Yaudah, sini aku boncengin.”
Akhirnya aku mengantarnya pulang dengan sepedaku yang putih berkilau bagaikan piring habis dicuci dengan sunlight.
Lagi, tangannya kembali memelukku di sepeda itu. Entah kenapa aku masih tak mengerti.
“Buk, kau kenapa?” tanyaku padanya sambil mengayuh sepeda kesayanganku.
“Memangnya ada apa?”
“Itu lho, tangannya.”
“Hehehehe, dingin aja.”
“Oh, kirain kenapa. Lain kali bawa jaket ya. Biar kamu gak sakit.”
“Sok perhatian deh loe!” dengan gayanya yang agak tomboi kalimat keras ia ucapkan kepadaku.
Masih kukayuh sepedaku sampai akhirnya Tia masuk ke dalam gerbang rumahnya yang megah bagaikan istana Ratu di Kahyangan pada sinetron Mahabarata.
“See you.....”
“Titikdua bintang aja. Hehehe” sahutku dambil tersenyum melepas gadis cantik itu ke dalam rumahnya.
“Woooooo..... hehehe” senyum kecil mengiringinya meninggalkanku yang masih di depan gerbang rumahnya.
Kini kukayuh lagi sepedaku menuju rumah tercinta. Entah ada apa aku masih bingung dengan Tia malam ini. Ia nampak berbeda.
***
“Andai kau tahu aku tak ingin kehilanganmu, walau sejenak, sedetik, atau bahkan tak melihatmu walau sedenyut nadi pun aku tak mau.”
“Entah kenapa, tapi aku tak ingin kau pergi dari sisi diri ini. Aku ingin selalu bersamamu.”
Kembali untaian kata Tia menemani sejuknya angin sore di pinggir laut beriring gelombang menerjang kaki-kaki kecil kami. Di kala langit senja yang memerah, aku bersamanya duduk berlawanan arah di sela antara air dan daratan.
“Aku pun demikian. Seolah tak ingin biarkan saat ini berlalu begitu cepat. Berlalu tanpa ada kenangan yang dapat untuk terulang.”
Sepasang sahabat yang begitu mesra duduk di pinggir pantai didera ombak-ombak kecil. Mungkin seperti sepasang kekasih jika orang melihat kami. Tapi bukan, kami hanya teman. Yang saling berbagi syair dan selalu bersama.
Masih duduk berlawanan arah, aku dan Tia menatap langit senja yang nampak selalu indah dilihat siapapun. “Aku tak mau kehilangan kamu lagi Ga! Dulu kamu sempat benar-benar jauh dariku. Kita seperti tak saling mengenal saat kamu bersama Intan. Kau bukan Rega yang kukenal saat itu.”
“Hey, kau kenapa? Akhirnya dia hanya orang yang lewat dalam hidupku bukan? Kamu yang dulu bilang seperti itu. Bakan kini juga kamu yang membantuku untuk bangun dari mimpi itu.” Jawabku padanya yang seperti menahan kegelisahan itu.
“Kemarin malam, aku merasakan bahwa kamu sudah kembali. Kita bisa bersama, bercerita di bawah langit malam yang sejak dulu kau kagumi. Aku merindukanmu sebagai Rega yang seperti itu.”
“Lama, sepertinya sangat lama aku tak merasakan kamu sebagai Rega yang dulu selalu mengusap air mataku saat aku menangis.”
“Ya, mungkin memang sudah lama kita jauh. Aku terlalu sibuk dengan Intan. Maaf, kini aku seperti tak tau diri dengan kembali bercerita tentang masalahku kepadamu.” Kataku padanya.
“Tak apa. Jika kau selalu memuja langit, biarkan aku menjadi langitnya. Aku yang selalu kau puja di saat apapun itu. Aku hanya ingin kau tahu, aku tak bisa jauh dari kamu.”
“Seandainya kelak Tuhan memberikan pilihan kepadaku, tentang siapa yang ingin kujadikan sebagai teman hidupku, kau pasti tahu jawabanya Ga.” Lanjut Tia tepat di saat matahari tenggelam ditelan samudera.
“Lalu, apa yang harus kukatakan? Aku tak mengerti kamu. Aku tak bisa memahamimu belakangan ini.”
“Kau jalani saja hidupmu. Biarkan Tuhan yang mengatur semuanya. Aku hanya manusia yang mengharapkan bisa selalu bersamamu.” jawab Tia.
Entahlah, apa yang ada dalam pikiran Tia saat ini aku belum bisa memahaminya. Kami adalah sahabat, hanya itu yang aku tahu.
***
Pagi kini hadir kembali, tak jauh berbeda dengan rutinan biasa, aku bangun lalu mandi dan bersiap untuk pergi kuliah. Seperti biasa pula aku menghampiri rumah Tia yang sejalur dengan kampusku. Namun, hari ini nampak berbeda. Tia yang biasanya telah berada di gerbang depan rumahnya, kini tidak ada. Rumahnya nampak sepi ketika aku melewatinya.
“Tuuutt.... tuuutt....”
“Ya Ga, ada apa?”
“Tumben udah sepi?” tanyaku.
“Oh iya, tadi aku dijemput sama Dika.”
“Oke, berarti aku berangkat sendiri aja. Hehe” jawabku sambil menutup telepon.
***
“Tuuuttt..... tuuutt....”
“Ke mana ini orang? Ditelepon dari tadi gak diangkat juga. Tidur apa pingsan ni orang? Atau jangan-jangan dia mati lagi. Perasaan kemarin sehat-sehat aja.” gerutuku ketika teleponku tak kunjung diangkat oleh Tia.
Sudah 7 hari, seperti memperingati orang meninggal aku menghubungi Tia tapi tetap tak ada balasan. Entah aku tidak tahu ke mana ia pergi.
***
“Hei, Ga. Lama gak ketemu. Ke mana aja loe?” tanya Tia yang berpapasan denganku di kantin kampus.
“Heleh,,, bukannya kamu yang ngilang?”
“Hehehe, ya ginilah.... punya pacar baru.”
“Wah.... enak tuh ditraktir.”
“Wuuuu ,,, loe maunya gratisan terus Ga.”
“Eh, emang siapa yang mau sama cewek tomboy kayak kamu?”
“Wo jangan salah loe Ga. Tomboi gini gue tetep manis. Loe aja pasti mau kan jadi cowok gue?” sanggah Tia yang tidak terima dengan ejekanku.
“Hahaha, ogah kali. Yang ada kamu tuh yang ngarep jadi cewekku, tapi gak kesampaian.”
“Woooo dasar ni anak ngajakin perang. Tuh, cowok baru gue. Si Dika.”
“Emm,,, pantes.”
“Woi, pantes kenapa?!” tanya Tia padaku.
“Hehehe, enggakk....”
“Ah, loe gitu.....”
“Hehehe, gak ada traktiran kok.”
“Alah,, yaudah. Gue mau hangout dulu sama pacar baru. Bye....”
“Ya.... hati-hati. Ntar digigit. Haha”
***
Semenjak saat itu, aku dan Tia tak lagi sering bertemu. Mungkin ini akhir kisah kami. Atau, breaknya kisah kami atau hanya hidupku. Yaaa.... begitulah hidupku, sering kali berakhir dengan aku yang berlari sendiri. Tak apa, ini adalah petualanganku. Jika orang lain ingin aku berada dalam hidupnya, aku tak keberatan. Jika tak ada yang ingin aku menjadi bagian hidupnya, bukan masalah bagiku. Masih ada Tuhan dan keluarga yang pasti akan menemaniku. Mereka kesusahan juga aku gak bakal bisa bantuin banyak hal. Cuma ngasih saran dan pendapat aja. Paling tidak, kisah ini bisa kukenang dan kuceritakan pada orang lain dan membuat kami tersenyum setiap mengingatnya.

3 comments:
Write comments

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !